Awal bulan November, pemerintah
memutuskan untuk melakukan Initial Public Offering (IPO) terhadap salah
satu perusahaan strategis milik pemerintah, PT Krakatau Steel. Namun keputusan
ini menimbulkan polemik yang merembes kemana-mana. Keputusan IPO ini dikritik
karena pemerintah dinilai terlalu rendah dalam menetapkan harga saham per lembar
PT Krakatau Steel yang hanya dipatok seharga Rp.850,00 sedangkan banyak analis
pasar modal melihat kisaran harga saham PT Krakatau Steel seharusnya berada di
level Rp.1150,00. Tak selang beberapa hari, harga saham KS melonjak dari Rp.
850 ke harga Rp.1.270 atau naik lebih dari 45%.
Polemik terus berlanjut hingga ke
level teknis, kritik pun akhirnya melebar kepada isu mengenai privatisasi
perusahaan Negara. Pemerintah dianggap tidak mampu memberdayakan KS sehingga
harus membutuhkan dana asing dalam bentuk skema IPO. Kritik pun menjurus kepada
perdebatan klasik perihal peran modal asing dalam pembangunan ekonomi
Indonesia. Artikel ini mencoba untuk mendiskusikan polemik perihal peran modal
asing dan pembangunan Indonesia. Hal ini penting sebab begitu banyak
miskonsepsi dan salah tafsir dalam melihat hubungan antara modal asing dan
pembangunan ekonomi di Indonesia.
Modal Asing dan Imperialisme
Tak sedikit dari kita yang
menganggap bahwa masuknya modal asing dalam berbagai skema seperti privatisasi,
IPO, dan strategic sales, dan Foreign Direct Investment adalah upaya
penjualan aset-aset bangsa yang hanya menguntungkan pihak investor dan tidak
pernah memberikan keuntungan bagi rakyat Indonesia. Dari sekian banyak skema
masuknya modal asing ke dalam perekonomian Indonesia, Foreign Direct
Investment (FDI) adalah skema yang paling banyak mendapatkan perhatian dari
kalangan akademisi dan praktisi. Tidak hanya karena skemanya lebih jangka
panjang ketimbang skema yang lain tetapi karena pro-kontra yang ditimbulkannya
di tengah masyarakat Indonesia terutama dikalangan terpelajar.
Sejak dekade 1990an, Cina dan India
telah menjadi kekuatan ekonomi dengan pertumbuhan ekonomi tercepat di dunia.
Bahkan memasuki dekade 2000, pertumbuhan ekonomi riil kedua Negara kedua negara
berkisar di angka 9 persen. Pada periode yang sama, Cina dan India
adalah dua Negara penerima terbesar arus modal asing di seluruh dunia. Cina
sendiri dengan arus modal asing yang terus masuk ke sector industry
manufakturnya, ia mampu bertransformasi menjadi Negara yang dijuluki the
factory of the world. Sedangkan India, dengan arus modal asing yang
diarahkan kepada sector jasa terutama telekomunikasi, ia mampu bertransformasi
menjadi Negara yang dijuluki oleh the economist sebagai back office
of the world. Dengan keberhasilan Cina dan India menggunakan dan
memberdayakan modal asing yang masuk ke Negara mereka, para ekonom percaya
bahwa setiap Negara-negara berkembang yang mampu memberdayakan modal asing akan
mampu bertransformasi menjadi Negara maju.
Belajar menjadi kekuatan ekonomi Asia
Perdebatan masuknya modal asing
tentu tidak akan berujung kepada kesimpulan yang matang karena setiap kelompok
memiliki pendiriannya masing-masing. Namun satu yang kita harus ingat, berbagai
macam pendekatan ekonomi untuk menjadi panduan kebijakan bagi pemerintah dalam
pengelolahan perekonomian hanyalah cara untuk mewujudkan kemakmuran bagi
seluruh masyarakat Indonesia. Dengan demikian, inti dari keseluruhan
pengelolahan perekonomian kita adalah kemakmuran. Tak dapat dipungkiri bahwa
terdapat berbagai macam kritik atas keberadaan modal asing dalam perekonomian
sebuah Negara berkembang, namun hal tersebut tidak boleh membuat kita anti dan
menolak secara keseluruhan keberadaan modal asing dalam perekonomian Indonesia.
Tindakan ekstrem seperti ini yang terkadang diselimuti oleh sikap nasionalisme
berlebihan hanya akan membuat tujuan utama kemakmuran masyarakat menjadi
terabaikan.\
Sebagai Negara dengan pasar yang
besar, tingkat pertumbuhan ekonomi yang stabil, serta kelas menengah yang terus
berkembang, beberapa analis menganggap Indonesia akan menyusul empat Negara
berkembang dengan perekonomian yang mengglobal seperti Brazil, Rusia, Cina, dan
India. Belum lagi fakta bahwa Indonesia telah diakui sebagai bagian tak
terpisahkan dari kekuatan ekonomi global dengan menjadi anggota G-20 yang
menggantikan G-8 sebagai kekuatan baru ekonomi dunia. Dengan posisi yang dimiliki
Indonesia, mau tidak mau Indonesia tidak dapat terpisahkan dengan perekonomian
dunia.
Sebagaimana yang dikatakan oleh
Friedman, salah satu karakteristik globalisasi versi 3.0 adalah interdependensi
dalam perekonomian global. Perekonomian sebuah Negara tidak dapat lagi
dipisahkan dengan perekonomian global. Apa yang terjadi dibelahan bumi utara
akan berdampak langsung terhadap perekonomian Indonesia. Tidak hanya aliran
barang yang terus bergerak, modal pun pergerakannya tidak dapat kita bending.
Dengan karakteristik seperti ini, mau tidak mau Indonesia harus memanfaatkan
peluang yang dihadirkan oleh globalisasi yang tepat berada di depan mata.
Keberhasilan Cina dan India dalam
memanfaatkan modal asing telah memberikan pelajaran bagi Negara-negara
berkembang seperti Indonesia bahwa kita tidak hanya menjadi korban dari
globalisasi melainkan mampu mengambil manfaat dari kompetisi global ini. Dengan
kebijakan yang tepat dan terarah, modal asing dapat menjadi katalisator bagi
pembangunan perekonomian suatu Negara. Bukan berarti modal asing dapat
sepenuhnya menghapus kemiskinan karena sampai sekarang pun kemiskinan merupakan
fenomena yang mematikan di India dan Cina. Namun setidaknya dengan modal asing,
dua Negara ini mampu menunjukkan keunggulan ekonominya dibandingkan
Negara-negara maju lainnya.
Hingga kini, kebijakan yang diambil
pemerintah sudah berada dalam koridor yang benar. UU Penanaman Modal memberikan
insentif bagi para investor untuk menanamkan modal di Indonesia. Begitu juga
dengan kebijakan fiscal dan moneter yang dilakukan BI agar dapat terus
mempertahankan modal asing yang berada di Indonesia. Untuk mencegah terjadinya
penghancuran terhadap industry domestic akibat masuknya modal asing, pemerintah
pun juga sudah merilis daftar negatif investasi (DNI). Namun, di beberapa
sector lainnya seperti telekomunikasi, kelistrikan, dan pekerjaan umum,
pemerintah terus mendorong upaya masuknya modal asing.
Namun masuknya modal asing ke
Indonesia tidak akan banyak memberikan manfaat jika modal asing hanya hinggap
di pasar modal. Sebagaimana yang dilaporkan oleh Bank Indonesia, mayoritas
modal asing yang masuk ke Indonesia terdiri dalam bentuk instrument sertifikat
Bank Indonesia (SBI), Surat Utang Negara (SUN) dan tambahan saham. Indonesia
belum mampu memanfaatkan modal asing yang ada sebagaimana yang dimanafaatkan
Cina dengan menjadi factory of the world atau India dengan menjadi back
office of the world.
Hal ini mungkin saja disebabkan oleh
tidak optimalnya investasi Indonesia sendiri dibidang infrastruktur fisik dan
pembangunan modal manusia di level lokal. Dalam kasus Cina, Cina mampu
memberikan fasilitas infrastruktur fisik yang bagus untuk menunjang perannya
sebagai factory of the world dan tidak hanya berhenti sampai disana,
Cina juga sangat menaruh perhatian terhadap pembangunan sumber daya manusianya.
Begitu juga India. Meskipun tidak terlalu berbeda dengan Indonesia dalam hal
pembangunan infrastruktur, India memiliki kapasitas lebih dalam bidang jasa
telekomunikasi sehingga dengan kelebihan yang dimilikinya, India mampu menjadi back
office of the world. Sedangkan Indonesia, belum mampu menghadirkan dua hal
yang menjadi tulang punggung bagi pembagunan perekonomian sebuah bangsa.
Shifting the Paradigm
Bagi kebanyakan orang umum di
Indonesia, selama ini modal asing selalu dilihat sebagai sesuatu yang cenderung
negative dan hanya sedikit yang dapat menikmatinya. Hal ini tentu keliru karena
modal asing yang dibutuhkan Indonesia bukanlah modal asing dalam bentuk
pembelian obligasi, saham atau Surat utang Negara (SUN) oleh orang asing
melainkan modal asing yang mampu menciptakan tiga hal, yaitu harus pro job, pro
growth dan pro poor yang mampu menciptakan kesempatan multiplier effect
sehingga keuntungannya dapat dinikmati bersama. Pro job disini berarti
modal asing yang masuk ke Indonesia harus mampu menciptakan lapangan pekerjaan.
Artinya, setiap tetes uang asing yang masuk haruslah diterjemahkan menjadi
instrument-instrumen ekonomi produktif. Disinilah pentingnya peranan focus
ekonomi pemerintah dalam menerjemaahkan modal-modal asing menjadi instrument
ekonomi produktif. Cina dengan tenaga kerjanya yang luar biasa mampu
menerjemahkan modal asing menjadi pabrik-pabrik barang-barang manufaktur
sedangkan India dengan sektor IT-nya berkembang pesat, mampu menerjemaahkan modal
asing menjadi sentra-sentra perkembangan jasa IT bagi seluruh dunia.
Sedangkan pro growth disini bukan
sekedar menciptakan pertumbuhan pada level makro dalam bentuk prosentase
pertumbuhan ekonomi. Melihat peran modal asing hanya sebagai pro growth hanya
akan membuat modal asing sebagai instrument inefektif dalam menggerakkan roda
perekonomian domestik negara karena tatkala modal asing dengan paradigm pro
growth an sich hanya akan menciptakan real overvaluation of
currency yang akan mencederai persaingan di level domestik. Tak hanya
sampai disana, overvaluation juga akan menciptakan lower exports,
returns to investment yang rendah serta overall growth yang
kecil. Alhasil, hanya melihat modal asing sebagai instrument pertumbuhan
ekonomi hanya akan mencederai pertumbuhan ekonomi keseluruhan sebuah Negara itu
sendiri.
Modal asing haruslah dilihat sebagai
instrument pro growth yang memiliki kekuatan multiplier effect.
Inilah shifting the paradigm dalam memandang modal asing. Dahulu
kita cenderung untuk focus terhadap investor yang sifatnya ingin
membangun Industri substitusi impor (Import Substitution Industrialization)
dimana modal asing yang masuk ditransformasikan menjadi industry yang
terlokalisasi. Dahulu bila ada perusahaan yang membuat barangnya secara local
di Indonesia maka kita sudah keburu senang. Apalagi kalau orang Indonesia
banyak yang bekerja di perusahaan hasil penanaman modal asing. Namun hal ini
tidaklah cukup. Jika dulu kita cenderung puas dengan dengan keuntungan modal
asing dengan adanya produk, sekarang kita harus melihat kesempatan dalam
mengelola modal asing dalam bentuk kepemilikan saham. Ibarat permainan bola,
kita tidak ingin berhenti menunggu di depan gawang untuk memasukkan bola ke
gawang lawan. Kita tidak ingin berhenti hanya dengan menunggu modal asing yang
bersifat substitusi impor tetapi kita ingin adanya pembagian keuntungan melalui
kepemilikan perusahaan tersebut. Disini kita juga mendapatkan keuntungan
sebagai bagian dari pemiliki perusahaan. Singkat kata, modal asing harus
diterjemahkan tidak hanya dalam kerangka paadigma industry berbasiskan substitusi
impor tetapi dilihat sebagai instrument yang bersifat multiplier dimana kita
sebagai penerima modal juga mampu menikmati keutungan dari kepemilikan modal.
Beginilah seharusnya kita melihat
modal asing pada era ini. Modal asing tidak cukup dilihat dalam skema import
substitution industrialization yang dimana kita memposisikan diri kita
sebagai pemain pasif melainkan melihat modal asing sebagai instrument
multiplier effect dimana kita tidak hanya menjadi pemain pasif melainkan aktif
dengan berusaha menjadi bagian dari kepemilikan modal itu sendiri sehingga
turut mendapatkan keuntungan sebagaimana pemilik modal. Meski demikian, satu
hal yang tidak boleh dilupakan dalam upaya kita meningkatkan penanaman modal
asing. Modal asing tidak akan terlalu banyak memberikan manfaat bila fakta
perihal korupsi dan berbagai macam penyimpangan-penyimpangan social yang
dilakukan baik di level pemerintah maupun masyarakat dan banyaknya
permasalahan-permasalahan moral hazard masih signifikan terjadi di
Indonesia. Tidak ada yang salah dengan modal asing yang masuk ke Indonesia.
Pada hakikatnya, hal tersebut merupakan kesempatan bagi kita untuk
mengakselerasi pertumbuhan dan pembangunan ekonomi domestik kita. Namun hal itu
dapat terwujud selama kita memiliki rencana dan target yang jelas perihal modal
asing yang masuk ke Indonesia.
Kita berharap bahwa seiring tumbuh
berkembangnya dinamika sosial ekonomi dimasyarakat, maka kedewasaan dan pola
fikir yang visioner akan pentingnya pengelolaan modal, baik dalam dan luar
negeri akan semakin berimbang, utuh dan komprehensif sehingga tujuan
kesejahteraan rakyat dapat terwujud. Selain itu, upaya meningkatkan peran modal
asing di Indonesia jangan hanya semata-mata dilihat sebagai upaya meningkatkan profit
sharing belaka tetapi juga ditekankan kepada adanya sustainable social
economic development. Kita berharap bahwa seiring tumbuh berkembangnya
dinamika sosial ekonomi di masyarakat, maka kedewasaan dan pola fikir yang
visioner akan pentingnya pengelolaan modal, baik dalam dan luar negeri akan
semakin berimbang, utuh dan komprehensif sehingga tujuan kesejahteraan rakyat (pro
poor) dapat terwujud.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar