Di seluruh belahan dunia ini tidak ada yang
terbebas dari serbuan kapitalisme, termasuk Indonesia. Bila dicermati bisa saja
terdapat untuk rugi dari dampak yang ditimbulkan oleh pengaruh kapitalisme
global ini. Tampak kasat mata bahwa status ekonomi masyarakat saat ini kelompok
yang kaya menjadi semakin kaya, sedangkan yang miskin menjadi semakin miskin.
Untuk membedakan sebuah negara di dominasi
kapitalisme atau sosialisme, maka indikator kasar yang paling mudah untuk
digunakan adalah dengan melihat seberapa besar pihak-pihak yang menguasai
sektor ekonominya. Jika sektor-sektor ekonomi lebih banyak dikuasai oleh
swasta, maka negara tersebut cenderung didominasi kapitalisme. Sebaliknya, jika
ekonomi lebih banyak dikendalikan oleh negara, maka lebih bercorak sosialisme.
Dengan menggunakan tolok ukur itu dapat
menelusuri sejauh mana cengkeraman kapitalisme telah menjalar ke Indonesia.
Sesungguhnya jejak kapitalisme di Indonesia dapat ditelusuri ketika Indonesia
mulai memasuki era pemerintahan Orde Baru. Pemerintahan Orde Baru dimulai sejak
Bulan Maret 1966. Orientasi pemerintahan Orba sangat bertolak belakang dengan
era sebelumnya. Kebijakan Orba lebih berpihak kepada Barat dan menjahui
ideologi komunis.
Dengan membaiknya politik Indonesia dengan
negara-negara Barat, maka arus modal asing mulai masuk ke Indonesia, khususnya
PMA dan hutang luar negeri mulai meningkat. Menjelang awal tahun 1970-an atas
kerja sama dengan Bank Dunia, Dana Moneter Internasional (IMF), Bank
Pembangunan Asia (ADB) dibentuk suatu konsorsium Inter-Government Group on
Indonesia (IGGI) yang terdiri atas sejumlah negara industri maju termasuk
Jepang untuk membiayai pembangunan di Indonesia. Saat itulah Indonesia dianggap
telah menggeser sistem ekonominya dari sosialisme lebih ke arah
semikapitalisme.
Memasuki periode akhir 1980-an dan awal
1990-an sistem ekonomi di Indonesia terus mengalami pergeseran. Menilik
kebijakan yang banyak ditempuh pemerintah, dapat menilai bahwa ada sebuah
mainstream sistem ekonomi telah terjadi. Isu-isu ekonomi politik banyak dibawa
ke arah libelarisasi ekonomi, baik libelarisasi sektor keuangan, sektor
industri maupun sektor perdagangan. Sektor swasta diharapkan berperan lebih
besar karena pemerintah dianggap telah gagal dalam mengalokasikan sumberdaya
ekonomi untuk menjaga kesinambungan pertumbuhan ekonomi, baik yang berasal dari
eksploitasi sumberdaya alam maupun hutang luar negeri.
Pakto 88 dapat dianggap sebagai titik tonggak
kebijakan libelarisasi ekonomi di Indonesia. Menjamurnya industri perbankan di
Indonesia, yang selanjutnya diikuti dengan terjadinya transaksi hutang luar
negeri perusahaan-perusahaan swasta yang sangat pesat, mewarnai percaturan
ekonomi Indonesia saat itu.
Masa pembangunan ekonomi Orde Baru-pun
akhirnya berakhir. Puncak dari kegagalan dari pembangunan ekonomi Orba ditandai
dengan meledaknya krisis moneter, yang diikuti dengan ambruknya seluruh
sendi-sendi perekonomian Indonesia. Pasca
krisis moneter, memasuki era reformasi, ternyata kebijakan perekonomian
Indonesia tidak bergeser sedikitpun dari pola sebelumnya. Bahkan semakin
liberal. Dengan mengikuti garis-garis yang telah ditentukan oleh IMF, Indonesia
benar-benar telah menuju libelarisasi ekonomi. Hal itu paling tidak dapat
diukur dari beberapa indikator utama.
Dihapuskannya berbagai subsidi dari
pemerintah secara bertahap. Berarti, harga dari barang-barang strategis yang
selama ini penentuannya ditetapkan oleh pemerintah, selanjutnya secara
berangsur diserahkan sepenuhnya pada mekanisme pasar. Nilai kurs rupiah diambangkan secara bebas (floating rate). Sesuai dengan
kesepakatan dalam LoI dengan pihak IMF, penentuan nilai kurs rupiah tidak boleh
dipatok dengan kurs tetap (fix rate). Dengan kata lain, besarnya nilai kurs
rupiah harus dikembalikan pada mekanisme pasar.Privatisasi BUMN. Salah satu
ciri ekonomi yang liberal adalah semakin kecilnya peran pemerintah dalam bidang
ekonomi, termasuk didalamnya adalah kepemilikan asset-asset produksi. Dengan dijualnya
BUMN kepada pihak swasta, baik swasta nasional maupun asing, berarti
perekonomian Indonesia semakin liberal.
Peran serta pemerintah Indonesia dalam kancah
WTO dan perjanjian GATT. Dengan masuknya Indonesia dalam tata perdagangan dunia
tersebut, semakin memperjelas komitmen Indonesia untuk masuk dalam libelarisasi
ekonomi dunia atau kapitalisme global.
Ketergantungan yang berlebihan terhadap negara-negara maju adalah faktor utama mengapa negara-negara dunia ketiga sulit berkembang. Selain itu, proses demokratisasi di dunia ketiga berbasis pada kapitalisme. Karena proses terjadinya demokrasi dalam masyarakat tidak melibatkan seluruh elemen masyarakat
Ketergantungan yang berlebihan terhadap negara-negara maju adalah faktor utama mengapa negara-negara dunia ketiga sulit berkembang. Selain itu, proses demokratisasi di dunia ketiga berbasis pada kapitalisme. Karena proses terjadinya demokrasi dalam masyarakat tidak melibatkan seluruh elemen masyarakat
Asumsi dasar teori modernisasi yang
menyatakan untuk mengatasi kemiskinan–yang terjadi di negara ketiga adalah
dengan cara memodernkan negara tersebut dengan cara melakukan pembangunan dalam
segala bidang adalah usaha yang keliru. Karena kemiskinan yang terjadi di dunia
ketiga justru disebabkan karena campur tangan negara-negara luar (negara
kapitalis) terhadap dunia ketiga. Ketergantungan
yang berlebihan terhadap negara-negara maju adalah faktor utama mengapa
negara-negara dunia ketiga sulit berkembang. Selain itu, proses demokratisasi
di dunia ketiga berbasis pada kapitalisme. Karena proses terjadinya demokrasi
dalam masyarakat tidak melibatkan seluruh elemen masyarakat.
Sebaiknya tidak terjadi proses demokratisasi
dalam sistem kapitalisme. Karena tujuan lapisan menengah ke atas dan lapisan
bawah dalam mendukung demokrasi ini berbeda. Kelompok masyarakat lapisan bawah
mendambakan demokratisasi, selama ini mereka menjadi korban ‘pembangunan’ yang
dijalankan oleh dua kekuatan yang bergabung, yaitu kekuatan ekonomi (pengusaha)
dan politik.
Kedua kekuatan inilah yang mengakibatkan
tanah mereka digusur, lokasi usaha mereka dihilangkan penertiban pedagang kali
lima, pembangunan mal-mal dan banyak lainnya. Karena jelas kedua kelompok ini
memiliki hubungan pribadi dan sosial yang lebih dekat dengan pemerintah
ketimbang dengan masyarakat lapisan bawah. Untuk
menciptakan demokrasi harus ditempuh mekanisme formal. Lembaga politik seperti
perangkat undang-undang dan hukum, cara bekerja lembaga tinggi negara seperti
parlemen, Mahkamah Agung, dan lembaga sejenisnya, dibuat menjadi demokratis.
Selanjutnya adalah mekanisme struktural. Metoda
ini beranggapan bahwa demokratisasi hanya bisa terjadi bila dapat diciptakan
perimbangan kekuasaan antara masyarakat dan pemerintah. Kalau pemerintah
terlalu kuat, meskipun ada lembaga formal yang menjamin terjadinya proses
demokrasi, suatu hal yang sulit untuk mengharapkan proses demokrasi yang
sebenarnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar