A. Pengertian GSO
GSO adalah merupakan suatu orbit lingkaran yang
terletak sejajar dengan bidang khatulistiwa bumi dengan ketinggian ± 35.786 km
dari permukaan wilayah khatulistiwa bumi. Keistimewaan dari GSO adalah bahwa
satelit yang ditempatkan pada orbit ini akan bergerak mengelilingi bumi sesuai
dengan rotasi bumi itu sendiri. GSO sebagai kenyataan alamiah diketengahkan
pertama kali oleh ahli terkemuka kelahiran Inggris : Arthur Clark
pada tahun 1945, yang menyatakan bahwa GSO merupakan cincin dengan diameter ±
150 km dan mempunyai ketebalan ± 70 km. Kelebihan lain dari jalur GSO ini
adalah, jika kita menempatkan sebuah satelit di jalur tersebut maka satelit
akan dalam keadaan tidak bergerak dan hanya dengan lebar 17° saja akan dapat
meliput sepertiga dari bagian bumi. GSO dapat menampung 3800 buah satelit
termasuk didalamnya satelit komunikasi, namun secara teknis GSO hanya dapat
menampung sekitar 180 buah satelit komunikasi saja. Dalam kenyataannya, satelit
komunikasi yang ditempatkan di jalur tersebut telah melebihi 180 buah satelit
komunikasi yang merupakan satelit negara space power.
B. Arti Penting GSO Bagi Indonesia
Indonesia adalah negara kepulauan yang membentang
sepanjang garis khatulistiwa, serta kedudukannya sebagai wilayah penghubung
yang terletak pada posisi silang antara dua benua dan dua samudera. Indonesia
sebagai negara khatulistiwa yang terpanjang, secara geografis adalah merupakan
negara yang mempunyai kolong yang sama panjangnya dengan segment GSO yang
berada diatas wilayah Indonesia.
Dengan memperhatikan kondisi geografis yang
sedemikian dan juga memperhatikan kemanfaatan GSO sebagai suatu fenomena alam
yang dapat dijadikan sebagai tempat bersemayamnya satelit – satelit untuk
berbagai kepentingan bangsa Indonesia saat ini dan masa yang akan datang, maka kelangsungan
dan kelanggengan serta keamanan dalam pemanfaatan segmen GSO yang berada di
wilayah kepentingan Indonesia harus selalu dapat terjamin.
Jalur GSO yang merupakan jalur potensial bagi
penempatan satelit itu hanya terdapat diatas negara – negara khatulistiwa saja
seperti Columbia, Congo, Equador, Kenya, Uganda, Zaire, Brazil, dan Indonesia.
Dari negara – negara khatulistiwa tersebut, Indonesia adalah satu – satunya
negara yang memiliki jalur GSO terpanjang diatas wilayah teritorialnya, yakni
13% dari panjang GSO seluruhnya atau sepanjang 34.000 km.
C. Status Hukum GSO
Dengan melihat kondisi objektif dari GSO yang
hanya dimiliki oleh negara -negara khatulistiwa saja maka jelaslah bahwa GSO
ini merupakan salah satu sumber daya alam yang terbatas. Secara yuridis, status
GSO sebagai sumber daya alam yang terbatas dapat dijumpai pada pasal 33 (2)
dari International Telecommunication Union (ITU) Convention
tahun 1973 sebagai berikut:
“A using frequency bands for space radio
services members shall bear in mind that radio frequencies and the
Geostationary satellites orbit are limited natural resources, that they must be
used efficiently and economically”.
Dari uraian diatas, jelas menunjukkan bahwa GSO
merupakan sumber daya alam yang amat terbatas baik dari panjang jalur tersebut
ataupun dari keterbatasan satelit yang dapat ditempatkan pada jalur GSO itu.
Namun dalam kenyataannya, jalur tersebut didominasi oleh negara – negara yang
telah mempunyai kemampuan teknologi tinggi dan negara – negara sedang berkembang
khususnya negara – negara khatulistiwa yang berada dibawah jalur tersebut tidak
mampu mengikutinya.
D. Masalah Hak Berdaulat di Dalam GSO
Dengan dikembangkannya prinsip first come
first served oleh negara maju di dalam penguasaan GSO, telah
membawa suasana competition serta mengakibatkan lahirnya technological
appropriation yang kemudian dikenal dengan istilah de facto
appropriation. Hal ini menambah keadaan kelompok negara – negara
khatulistiwa dan negara berkembang lainnya semakin dirugikan. Inilah yang
menjadi pertentangan negara – negara maju khususnya Amerika Serikat dan Rusia
dengan negara – negara equator dan negara – negara berkembang lainnya disisi
lain.
Kelompok negara – negara khatulistiwa
menginginkan adanya suatu pengaturan hukum international yang tidak merugikan
posisi mereka dalam rangka pemanfaatan sumber daya GSO tersebut.
Mula – mula negara khatulistiwa tersebut mencoba untuk
melakukan suatu klaim terhadap GSO yakni dengan dicetuskannya Deklarasi Bogota
tahun 1976. Akan tetapi kelompok negara – negara maju terutama Amerika Serikat
dengan kemampuan teknologinya selalu menekankan efisiensi penggunaan GSO
sebagai hal utama yang harus dicapai dalam pemecahan masalah (pendekatan
teknis), dan menghindari tercapainya suatu pemecahan hukum (hukum
internasional).
Seperti halnya masalah remote sensing,
Amerika Serikat berpendapat bahwa suatu pengaturan hukum justru akan menghambat
inovasi teknologi. Hal ini dapat dimengerti mengingat Amerika Serikat sebagai
negara space power yang paling mampu mengorbitkan satelit – satelit
GSO tentu tidak ingin kebebasannya dihalangi oleh ketentuan – ketentuan hukum
yang mengakibatkan berkurangnya dominasi keunggulan teknologi, militer, dan
ekonomi mereka. Oleh karena itu dalam pembahasan subkomite ilmiah dan teknik
UNCOPUOS selalu diberikan argumentasi teknis yang ditujukan untuk
mendukung posisinya dalam subkomite hukum. Secara objektif, argumentasi teknik
tersebut memang benar serta sulit untuk disangkal.
Sebaliknya kelompok negara – negara khatulistiwa
yang pada umumnya belum memiliki satelit bumi, tidak mempunyai jalan lain
kecuali menempuh jalan hukum serta menghindari perdebatan teknis. Kelompok
negara – negara ini pada prinsipnya memperjuangkan hak berdaulat penuh atas
ruang antariksa di atas wilayahnya, dalam hal ini GSO.
E. Masalah Kedaulatan di dalam GSO
Merupakan suatu keniscayaan bahwa praktek first
come first served yang dilakukan oleh negara maju atas segmen GSO adalah
sama sekali tidak wajar, mengingat negara – negara khatulistiwa sebagai negara
kolong GSO memiliki kepentingan sosial-politik-keamanan yang sangat besar atas
wilayah mereka.
Bentuk lain dari perjuangan Indonesia terhadap
GSO adalah dengan dikeluarkannya national statement Indonesia pada
sidang UNCOPUOS tahun 1979 yang menuntut kedaulatan atas GSO. National
Statement ini kemudian diterjemahkan menjadi Posisi Dasar RI 1979 atas
GSO, dimana didalamnya berisikan tentang tuntutan kedaulatan Indonesia atas GSO
tetapi disertai pula dengan kompromi sebagai berikut :
i) Pengakuan bahwa GSO adalah
sumber alam terbatas (limited natural resources) yang mempunyai
ciri-ciri khusus;
ii) Negara – negara khatulistiwa
mempunyai hak berdaulat (souvereign right) atas GSO diatas wilayahnya;
iii) Hak-hak berdaulat tersebut hanya
untuk tujuan – tujuan yang ditentukan (specified), antara lain:
a) Hanya untuk kepentingan
rakyat negara – negara khatulistiwa dan masyarakat Indonesia;
b) Ditujukan untuk mencegah
terjadinya titik jenuh (saturated) pada orbit GSO;
c) Untuk mencegah akibat –
akibat yang merugikan negara-negara khatulistiwa dikemudian hari.
iv) Pada prinsipnya memberikan kebebasan
atas satelit – satelit yang digunakan untuk kemanusiaan dan perdamaian.
F. Fondasi Hukum Nasional
atas GSO
Perjuangan diplomasi Indonesia atas GSO berlanjut
dengan penguatan fondasi hukum yang memuat materi mengenai GSO
sebagaimana tertuang di dalam kebijakan nasional sebagai berikut:
i) Pasal 30 Ayat 3, Undang –
Undang Nomor 20 Tahun 1982 Tentang Pertahanan Keamanan Negara sebagai berikut :
“Tentara Nasional Indonesia Angkatan Udara” bertugas
:
a) Selaku penegak
kedaulatan negara di udara bertugas mempertahankan keutuhan wilayah dirgantara
nasional bersama – sama segenap komponen kekuatan pertahanan keamanan negara
lainnya;
Penjelasan resmi pasal ini adalah:
“Yang dimaksud dengan tugas penegakan
kedaulatan negara diartikan sama dengan penjelasan ayat (2) huruf a pasal ini
bagi wilayah udara. Adapun pengertian dirgantara mencakup ruang udara dan
antariksa termasuk “Orbit Geostasioner“ yang merupakan sumber daya alam
terbatas“.
ii. Pasal 7, Undang – Undang
Nomor 3 Tahun 1989 Tentang Telekomunikasi sebagai berikut :
“Penggunaan spektrum frekuensi radio dan
orbit geostasioner yang merupakan sumber daya alam yang terbatas dalam
penyelenggaraan telekomunikasi diatur dengan Peraturan Pemerintah”
Penjelasan resmi pasal ini adalah:
“Ketentuan ini dimaksudkan sebagai sarana
untuk mengawasi penggunaan dan pemanfaatan frekuensi radio “dan orbit geo
stasioner” bagi penyelenggaraan telekomunikasi dalam negeri sesuai dengan
alokasi yang telah ditentukan oleh organisasi telekomunikasi internasional yang
mengikat pihak Indonesia”.
G. Kekosongan Hukum dalam Rezim Hukum
Antariksa Klasik Berkenaan Mengenai GSO
Rezim hukum antariksa klasik, adalah suatu produk
yang dibuat hanya untuk menjelaskan prinsip – prinsip dasar
mengenai eksplorasi dan eksploitasi antariksa, tanpa pengaturan khusus mengenai
GSO, kedaulatan dan hak berdaulat atas GSO. Hal ini dipandang sebagai suatu
kesengajaan yang dibuat oleh negara – negara maju, demi kepentingan untuk
eksploitasi GSO guna penempatan satelitnya, sementara negara khatulistiwa
seperti Indonesia memperhatikan mengenai kemungkinan terjadinya saturasi
di dalam eksploitasi tersebut yang secara nyata akan membawa dampak langsung
maupun tidak langsung terhadap Indonesia.Dalam hal ini, pemerintah Indonesia,
hendaknya terus melakukan kajian yang mendalam dan berkesinambungan bersama –
sama dengan negara khatulisatiwa lainnya untuk dapat melahirkan format baru
yang dapat diajukan di dalam sidang khusus subkomite hukum UNCOPUOS berikutnya
(2010) bersama – sama dengan isu ‘sexy’ lainnya, yaitu “definisi dan delimitasi
antariksa”.
Apabila sinergi di dalam pembahasan dua topik ini
berhasil, langkah terakhir bagi Indonesia adalah membuat suatu hukum nasional
yang lebih tegas mengenai definisi dan delimitasi antariksa, GSO, serta hak
berdaulat dan kedaulatan di dalamnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar