Era
globalisasi yang diboncengi neolibralisme dan modernisasi menuju
diiringi revolusi IPTEK. Dimana manusia akan terus akan mengalami revolusi tour
ti (technologi, telekomunication,transportation,tourism)yang
memiliki globalizing force yang dominan sehingga batas antar daerah dan
antar negara semakin kabul, yang mengakibatkan dunia tanpa batas yang menganut
aliran kebebasan, kebebasan nerkreatifitas, kebebasan berpendapat, dan
kebebasan berkreatifitas, kebebasan berpendapat, dan kebebasan berekpresi.
Seperti contoh bila kita duduk di satu kursi dan berkomunikasi dengan orang di
tempat yang paling jauh ditempat diluar sana, maka kemajuan tehnologi informasi
dan telekomonikasi mendekatkan jarak dan waktu. Kondisi tersebut secara tidak
langsung dapat mempengaruhi tantangan budaya masyarakat khususnya I ndonesia.
Hal ini
sangatlah berbahaya bila kita tidak memfilter serta membedakan mana budaya
asing yang dapat diserap dan mana yang tidak. Jika kita melihat kondisi riil
masyarat Indonesia sekarang ini, ternyata daya serap masyarakat terhadap budaya
global lebih cepat dibanding daya serapnya terhadap budaya lokal. Bukti nyata
dari pengaruh globalisasi itu, antara lain dapat disaksikan dari gaya
berpakaian, dan gaya berbahasa masyarakat Indonesia, khususnya generasi muda
yang sudah berubah yang kesemuanya itu diperoleh karena kemajuan tehnologi
iformatika dan komunikasi khususnya pada media masa. Globalisasi media dengan
segala nilai yang dibawanya seperti lewat televisi, radio, majalah, koran,
buku, film, VCD, HP, dan kini lewat internet sedikit banyak akan berdampak pada
budaya dan kehidupan masyarakat Indonesia.
Definisi
hiperglobalis tersebut, jika bisa disamakan dengan keanekaragaman istilah
globalisasi pada umumnya, yang salah satunya adalah Westernisasi. Dimana ada
penyebaran budaya barat terutama kebudayaan Amerika. Namu, jika dilihat lebih
lanjut, definisi dari hiperglobalis tidak bisa terlepas dari pada sifat-sifat
yang cenderumg mengandung pikiran ekonomi,berorientasi ekonomi. Hal itu jelas dapat dilihat dan dinilai dari penekanan paham konsumsi
terhadap budaya Barat pada umumnya. Jadi bisa juga diartikan bahwa, budaya
barat adalah budaya yang diperjualbelikan, sementara masyarakat dunia pada
umumnya adalah konsumen yang menikmati. Sehingga munculah kondisi dimana
istilah Westernisasi digunaklan sebagai simbolis terhadap sifat konsumerisme
tersebut. Baik itu konsumsi terhadap bentuk pemerintahan atau sistim politik,
mekanisme pasar atau paham ekonomi , bahkan hingga bentuk celana jeans
atau kebudayaan.
Bertolak dari besarnya peran media
massa dalam mempengaruhi pemikiran khayalaknya, tentulah perkembangan media
massa di Indonesia pada masa yang akan datang harus dipikirkan lagi. Apalagi
menghadapi globalisasi media massa yang tak terelakan lagi.
Globalisasi media massa merupakan
proses yang secara nature terjadi, sebagaimana jatuhnya sinar matahari,
sebagaimana jatuhnya hujan atau meteor. Pendekatan profesional menjadi kata
kunci, masalah dasarnya mudah diterka. Pada titik - titik tertentu,
terjadi benturan antar budaya dari luar negeri yang tak dikenal oleh bangsa
Indonesia. Jadi kehawatiran besar terasakan benar adanya ancaman, serbuan, penaklukan,
pelunturan karena nilai – nilai luhur dalam paham kebangsaan.
Imbasnya adlah
munculnya majalah-majalah Amerika dan Eropa versi Indonesia seperti : Bazaar
,Cosmopolitan ,Spice,FHM, (for Him Magazine) ,Good Housekeeping ,Trax,
dan sebagainya. Begitu juga membanjirnya program tayangan dan produk tanpa
dapat dibendung.Sehingga bagaimana bagi negara berkembang seperti Indonesia
menyikapi penomena traspormasi media terhadap prilaku masyarakat dan budaya
lokal,karena globalisasi media dengan segala yang dibawanya seperti lewat
televisi, radio, majalah, koran, buku film, vcd, HP, dan kini lewat internet
sedikit banyak akan berdampak pada kehidupan masyarakat.
Saat ini
masyarakat sedang mengalami serbuan yang hebat dari berbagai produk poernografi
berupa tabloitd, majalah, buku bacaan di media cetak, televisi, rasio, dan
terutama adalah peredaran bebas VCD.Baik yang datang dari uar negeri maupun
yang diproduksi sendiri. Walaupun media pernografi bukan barang baru bagi
Indonesia, namun tidak pernah dalam skala seluas sekarang. Bahkan beberapa
orang asing menganggap Indonesia sebagai ”surga pornografi” karena sangat
mudahnya mendapat produk-produk pornografi dan harganya pun murah.
Kebebasan pers
yang muncul pada awal reformasi ternyata dimanfaatkan oleh sebagian masyarakat
yang tidak bertanggung jawab, untuk menerbitkan produk-produk pornografi.
Mereka menganggap pers mempunyai kemerdekaan yang dijamin sebagai hak asasi
warga Negara dan tidak dikenakan penyensoran dan pembredelan. Padahal dalam
pasal 5 ayat 1 Undang-undang pers No 40 tahun 1999itu sendiri, mencantumkan
bahwa: ”pers berkewajiban memberikan peristiwa dan opini dengan menghormati
norma-norma agama dan rasa kesusilaan masyarakat”.
Dalam media
audio visualpun ada Undang-Undang yang secara spesifik mengatur pornografi
yaitu Undang-undang perfilman dan Undang-undang Penyiaran. Dalam Undang-undang
perflman 1992 pasal 33 dinyatakan bahwa : ”setiap film dan reklame film yang
akan diedarkan atau dipertujuklkan di Indonesia, wajib sensor terlebih dahulu”.
Pasal 19 dari UU ini menyatakan bahwa : ”LSF (Lembaga Sensor Film)harus menolak
sebuah film yang menonjolkan adegan seks lebih dari 50 % jam tayang”. Dalam UU
Penyiaran pasal 36 ayat 6 dinyatakan bahwa: ” isi siaran televisi dan radio dilarang
menonjolkan unsur cabul (ayat 5) dan dilarang merendahkan, melecehkan dan/atau
mengabaikan nilai-nilai agama dan martabat manusia Indonesia ”.
Menurut Afdjani
(2007 bahwa: Globalisasi pada hakikatnya ternyata telah membawa nuansa budaya
dan nilai yang mempengaruhi selera dan gaya hidup masyarakat. Melalui media
yang kian terbuka dan kian terjangkau, masyarakat menerima berbagai informasi
tenteng peradaban baru yang datang dari seluruh penjuru dunia. Padahal, kita
menyadari belum semua warga degara mampu menilai sampai dimana kita sebagai
bangsa berada. Begitulah, misalnya banjir informasi dan budaya baru yang dibawa
media tak jarang teramat asing dari sikap hidup dan norma yang berlaku.
Terutama masalah pornografi dimana sekarang wanita–wanita Indonesia sangat
terpengaruh oleh trend mode dari Amerika dan Eropa yang dalam berbusana
cenderung minim,yang kemudian ditiru habis-habisan.
Sehingga kalau
kita berjalan-jalan di mal atau di tempat publik sangat mudah menemui
wanita Indonesia yang berpakaian serba minim dan mengumbar aurat.Dimana budaya
itu sangat bertentangan dengan dengan norma yang ada di Indonesia.Belum lagi
maraknya kehidupan free sex di kalangan remaja masa kini. Terbukti
dengan adanya video porno yang pemerannya adalah orang-orang Indonesia.
Di sini
pemerintah dituntut untuk bersikap aktif tidak masa bodoh melihat perkembangan
kehidupan masyarakat Indonesia. Menghimbau dan kalau perlu melarang berbagai
sepak terjang masyarakat yabg berperilaku yang tidak semestinya. Misalnya
ketika Presiden Susilo Bambang Yudoyono menyarankan agar televisi tidak
merayakan goyang erotis denga puser atau perut kelihatan. Ternyata dampaknya
cukup terasa, banyak televisi yang tidak menayangkan artis yang berpakaian
minim
Ketidakberdayaan
tradisi dalam menghadapi kekuatan-kekuatan lain di luar dirinya tidak boleh
dibiarkan begitu saja .Upaya-upaya pembakuan dan modernisasi yang mengarah pada
proses pembunuhan tradisi harus dilawan, karena itu berarti pelenyapan atas
sumber lokal yang diawali dengan krisis identitas lokal.
Upaya-upaya
pembangunan jati diri bangsa Indonesia, termasuk didalamnya penghargaan nilai
budaya dan bahasa, nilai-nilai solidaritas sosial, kekeluargaan dan cinta tanah
air yang dirasakan semakin memudar dapat disebabkan oleh beberapa faktor.Dalam
kenyataannya didalam struktur masyarakat terjadi ketimpangan sosial, baik
dilihat dari status maupun tingkat pendapatan. Kesenjangan sosial yang semakin
melebar itu menyebabkan orang kehilangan harga diri. Budaya lokal yang lebih
sesuai dengan karakter bangsa semakin sulit dicernakan sementara itu budaya
global lebih mudah merasuk.
Dalam kasus
Globalisasi Media, sekarang di Indonesia bermunculan lembaga-lembaga media
watch yang keras sebai pers sebagai jawaban terhadap kian maraknya terhadap
penerbitan yang tidak memperhitungkan masalah etika dan kode etik. Dimana
melalui media massapun, kita dapat membangun media publik, karena media
mempunyai kekuatan mengkonstruksi masyarakat. Misalnya melalui pemberitaan
tentang dampak negatif pornografi. Komentar para ahli dan tokoh-tokoh
masyarakat yang anti pornogrfi dan anti media pornografi serta tulisan-tulisan,
gambar dan surat pembaca yang berisikan realitas yang dihadapi masyarakat
dengan maraknya pornografi, maka media dapat dengan cepat mengkontruksikan
masyarakat secara luas karena jangkauannya jauh.
Dalam
masyarakat terutama di daerah pedesaan , dikenal adanya opinion leader
atau pembuka pendapat atau tokoh masyarakat. Mereka mempunyai kemampuan untuk
mempengaruhi orang lain untuk bertindak laku dalam cita-cita tertentu. Menurut
Rogers (1983): ”pemuka pendapat memainkan peranan penting dalam penyebaran
informasi. Melalui hubungan sosial yang intim, para pemuka pendapat berperan
menyampaikan pesan-pesan, ide-ide dan informasi-informasi baru kepada masyarakat”.
Melalui pemuka pendapat seperti tokoh agama, sesepuh desa, kepala desa,
pesan-pesan tentang bahaya media pornografi dapat disampaikan.
Tapi yang lebih
penting lagi adalah ketegasan Pemerintah dalam menerapkan hukum baik
Undang-Undang Pers, Undang-Undang Perfilman dan Undang-Undang Penyiaran secara
tegas dan konsisten disamping tentu saja partisipasi dari masyarakat untuk
bersama-sama mencegah dampak buruk dari globalisasi media yang kalau dibiarkan
bisa menghancurkan negeri ini.
Kemudian hal
yang tidak kalah pentingnya dalam menghadapi globalisasi budaya adalah
nilai-nilai kearifan lokal bukanlah nilai usang yang harus dimatikan, tetapi
dapat bersinergi dengan nilai-nilai universal dan nilai-nilai modern yang
dibawa globalisasi. Dunia internasional sangat menuntut demokrasi, hak asasi
manusia, lingkungan hidup menjadi agenda pembangunan di setiap negara. Isu-isu
tersebut dapat bersinergi dengan aktualisasi dari filosofi lokal yang dimiliki
Indonesia, misalnya di Bali yang dikenal dengan ”Tri Hita Karana”, yang
mengajarkan pada masyarakat Bali, bagaimana harus bersikap dan berperilaku yang
selalu mengutamakan harmoni, keselarasan, keserasian dan keseimbangan hubungan
antara manusia dengan alam, manusia dengan manusia, dan manusia dengan Tuhan
Yang Maha Esa dalam melaksanakan hidup.
Oleh karena itu
globalisasi yang tidak terhindarkan harus diantisipasi dengan pembangunan
budaya yang berkarakter penguatan jati diri dan kearifan lokal yang dijadikan
sebagai dasar pijakan dalam penyusunan strategi dalam pelestarian dan
pengembangan budaya. Upaya memperkuat jati diri daerah dapat dilakukan melalui
penanaman nilai-nilai budaya dan kesejarahan senasib dan sepenanggungan
diantara warga sehingga perlu dilakukan revitalisasi budaya daerah dan
perkuatan budaya daerah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar