PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pendidikan adalah suatu usaha atau kegiatan yang dijalankan dengan sengaja,
teratur dan berencana dengan maksud mengubah atau mengembangkan perilaku yang
diinginkan. Sekolah sebagai lembaga formal merupakan sarana dalam rangka
pencapaian tujuan pendidikan tersebut. Melalui sekolah, peserta didik dapat
belajar pengetahuan dan keterampilan hidup untuk bekal masa depannya. Belajar
akan menghasilkan perubahan-perubahan dalam diri seseorang. Untuk mengetahui
sampai seberapa jauh perubahan yang terjadi, perlu adanya penilaian. Begitu
juga dengan yang terjadi pada seorang siswa yang mengikuti suatu pendidikan
selalu diadakan penilaian dari hasil belajarnya. Penilaian terhadap hasil
belajar seorang peserta didik untuk mengetahui sejauh mana telah mencapai
sasaran belajar inilah yang disebut sebagai prestasi belajar. Tentunya prestasi
belajar setiap peserta didik tidaklah sama karena setiap peserta didik memiliki
latar belakang yang berbeda baik dari segi kecerdasan, psikologis, maupun
biologis.
Perbedaan antar peserta didik ini mengharuskan layanan
pendidikan yang berbeda terhadap mereka. Oleh itu karena layanan yang berbeda
secara individual demikian dianggap kurang efisien, maka dilakukan
pengelompokan berdasarkan persamaan dan perbedaan peserta didik, agar kekurangan
pada pengajaran secara klasikal dapat dikurangi.
Banyak guru yang mengelompokkan peserta didiknya
berdasarkan prestasi belajarnya di kelas. Pengelompokan demikian ia namai
dengan achievement grouping. Dengan adanya pengelompokan demikian, maka peserta
didik yang berprestasi tinggi dikelompokkan dengan peserta didik yang
berprestasi tinggi, sementara yang berprestasi rendah, dikelompokkan ke dalam
yang berprestasi rendah.
Alasan pengelompokan peserta didik juga didasarkan
atas realitas bahwa peserta didik secara terus-menerus bertumbuh dan
berkembang. Pertumbuhan dan perkembangan peserta didik satu dengan yang lain
berbeda. Agar perkembangan peserta didik yang cepat tidak mengganggu peserta
didik yang lambat dan sebaliknya (peserta didik yang lambat tidak mengganggu
yang cepat), maka dilakukanlah pengelompokan peserta didik . Tidak jarang dalam
pengajaran yang menggunakan sistem klasikal, peserta didik yang lambat, tidak akan
dapat mengejar peserta didik yang cepat. Dengan melakukan sistem pengelompokan
seperti itu yang lebih dikenal dengan Achievement
Grouping, banayak guru yang menganggap lebih mudah memberikan pelayanan
kepada siswa guna mencapai tujuan pembelajaran secara maksimal.
Dari permasalahan tersebut maka perlu bagi guru
mengetahui relevan atau tidak menggunakan sistem achievement grouping atau
pengelompokan berdasarkan prestasi belajarnya dalam mengelola kelas demi
mencapai tujuan pembelajaran secara maksimal.
B. Rumasan Masalah
1.
Apa manfaat achievement grouping dalam mengelola kelas?
2.
Adakah dampak yang timbul dari achievement grouping dalam mengelola kelas?
3.
Apakah relevan mengguanakan achievement
grouping dalam mengelola kelas sebagai upaya untuk memudahkan guru
memberikan pelayanan kepada siswa?
C. Tujuan
Dari
pemaparan di atas maka yang menjadi tujuan penulisan makalah ini yaitu:
1.Untuk
mengetahui manfaat dari acvievement grouping.
2.Untuk
mengetahui dampak yang timbul dari achievement grouping.
3.Untuk
mengetahui tentang penerapan achievement grouping sebagai salah satu upaya
untuk memudahkan guru dalam memaksimalkan tujuan pembelajaran.
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Achievement Groping
Pengelompokan atau grouping adalah pengelompokan
peserta didik berdasarkan karakteristik-karakteristiknya. Karakteristik
demikian perlu digolongkan, agar mereka berada dalam kondisi yang sama. Adanya
kondisi yang sama ini bisa memudahkan pemberian layanan yang sama.
Hendyat Soetopo
(1982) mengemukakan bahwa Achievement
Grouping adalah suatu sistem pengelompokan yang berdasarkan prestasi
belajar dari peserta didik. Dengan adanya pengelompokan demikian, maka peserta
didik yang berprestasi tinggi dikelompokkan dengan peserta didik yang
berprestasi tinggi, sementara yang berprestasi rendah, dikelompokkan ke dalam
yang berprestasi rendah. Ada tiga macam pengelompokan yang didasarkan atas
achievement grouping ini, yaitu: kelompok untuk peserta didik yang cepat berpikir,
kelompok untuk peserta didik yang sedang dan kelompok untuk peserta didik yang
lambat belajar.
Menurut Regan (1996) Achievement Grouping adalah pengelompokan
berdasarkan kemampuan peserta didik. Peserta didik yang mempunyai tingkat
kemampuan yang sama ditempatkan pada kelompok yang sama. Peserta didik yang
sama-sama tinggi kemampuannya ditempatkan pada kelompok yang kemampuannya
tinggi, sementara peserta didik yang kemampuannya rendah ditempatkan dalam
kelompok peserta didik yang berkemampuan rendah.
Dari pendapat diatas dapat disimpulkan
bahwa Achievement Grouping adalah
suatu sistem pengelompokan dalam mengelola kelas yang berdasarkan prestasi
belajar/kemampuan dari peserta didik. Sehingga dalam suatu kelas, peserta didik
dikelompokkan menjadi kelompok yang memiliki kemampuan tinggi dan juga kelompok
yang memiliki kemampuan rendah. Pengelompokkan ini bersdasarkan prestasi
belajar yang telah dicapai peserta didik.
B.
Manfaat
Penerapan Achievement Grouping Dalam
Manajemen Kelas
Pengaturan
kelas ditekankan pada terciptanya suasana yang kooperatif bukannya kompetitif,
harapannya siswa-siswa yang lemah secara akademik dapat memberikan konstribusi
yang berarti terhadap kesuksesan kelompok kooperatif. Guru besar
perananya dalam menciptakan suasana yang kondusif.
Kelebeihan
dari penerapan sistem Achievement Grouping diantaranya adalah:
1.
Guru dapat lebih mudah dalam memberikan
pelayanan dan perhatian.
Dengan menggunakan sistem Achievement
Grouping dalam mengelola kelas, guru dapat lebih mudah memberikan pelayanan dan
perhatian kepada peserta didik sehingga guru dapat memaksimalkan tujuan
pembelajaran.
2. Menciptakan kondisi ideal dan kondusif.
Secara obyektif sistem Achievement Grouping
akan memberikan kondisi pada suasana belajar yang ideal dan kondusif untuk
mencapai tujuan pembelajaran secara maksimal. Guru dengan mudah menyampaikan
materi, selanjutnya siswa akan menanggapi dalam proses belajar dengan lebih
mudah. Pada akhirnya prestasi akademik siswa akan mudah termonitor dan mudah
pula melakukan perlakukan-perlakuan khusus dalam rangka perbaikan atau
pengayaan. Baik siswa yang terkelompok sebagai siswa berpotensial tinggi
(pintar) ataupun siswa yang terkelompok sebagai siswa berpotensial rendah
(kurang pandai), akan dengan mudah termonitor oleh guru. Perlakuan guru dalam
proses pembelajaran di dua kelompok tersebut akan meningkatkan prestasi siswa.
3.
Peserta didik yang
berkemampuan tinggi tidak merasa terhambat perkembangannya.
Peserta didik yang mempunyai kemampuan
lebih tinggi, tidak merasa terhambat perkembangannya oleh peserta didik yang
berkemampuan rendah. Terkadang dari dalam diri peserta didik muncul rasa kesal
apabila proses belajarnya terhambat oleh peserta didik yang berkemampuan lebih
rendah darinya.
4.
Peserta didik yang
berkemampuan rendah tidak merasa tertinggal jauh dengan anggota kelompoknya
Peserta didik yang berkemampuan rendah
tidak merasa tertinggal jauh dengan anggota kelompoknya. Suatu rasa nyaman
apabila peserta didik yang berkemampuan rendah memiliki teman/kelompok, dimana
teman/kelompok juga memiliki kemampuan yang sama rendahnya.
C.
Dampak
Achievement
Grouping
Guru
harus membuat persiapan yang berbeda-beda, ada rancangan pembelajaran yang
dikhususkan untuk peserta didik berkemampuan rendah, dan ada yang dikhususkan
untuk peserta didik yang berkemempuan tinggi. Tentunya hal ini akan lebih
memakan waktu untuk guru dalam membuat rancangan pembelajaran. Dan pada
kenyataanya tidak semua guru membuat rancangan pembelajaran yang dikhususkan
untuk kelompok berkemampuan tinggi maupun kelompok yang berkemampuan rendah.
Jadi Cuma ada satu rancangan pembelajaran dan pada penerapannya guru lebih
berkonsentrasi pada satu kelompok.
Peserta
didik yang masuk ke dalam kelompok superior merasa dirinya lebih dan sombong
serta suka membanggakan diri. Hal ini dapat terjadi jika kelompok yang memiliki
kemampuan tinggi tidak ditanamkan budipekerti yang baik. Hal ini juga dapat
memicu perselisihan antara kelompok tinggi dan kelompok rendah.
Interaksi
antara peserta didik yang ada di kelompok kemampuan tinggi dengan peserta didik
yang ada di kelompok rendah juga dapat terganggu. Hal ini dikarenakan peserta
didik memilih-milih teman. Anak pandai akan lebih banyak bergaul dengan anak
pandai dan anak kurang pandai akan bergaul dengan anak yang kurang pandai. Guru
pun seolah memberikan label bahwa si A anak pandai karena nilai-nilainya bagus
sedangkan si B anak bodoh karena niai-nilainya jelek.
Peserta
didik kurang pandai merasa tersisih dan kurang percaya diri. Cap bahwa ia
‘bodoh’ seolah sudah melekat pada dirinya yang menjadikan ia tampak canggung
dan merasa serba salah.(Teori Labeling,Lemert). Hal ini kadang diperparah
dengan sikap guru yang kadang melontarkan perkatan-perkataan tidak pada
tempatnya, seperti: “Coba seperti si A itu, ia selalu dapat nilai di atas 9”,
“Contohlah si A ia selalu rajin belajar” ataupun “Jangan seperti si B sudah bodoh,
malas lagi”. Hal ini tentunya dapat menggangu kondisi psikologi peserta didik.
Dengan
adanya pengelompokan peserta didik berdasarkan prestasi, peserta didik yang
termasuk dalam kelompok berkemampuan rendah pasti akan merasa kecewa pada
dirinya sendiri sehingga hal ini akan memicu rasa frustasi dalam diri peserta
didik tersebut.
Peserta
didik yang pandai memerlukan layanan pembelajaran yang berbeda dengan peserta
didik yang kurang pandai. Anggapan ini didasarkan bahwa siswa yang pandai
cenderung lebih cepat menerima pelajaran dan lebih mudah menerima pelajaran
dibandingkan dengan siswa yang kurang pandai. Jika kedua kelompok yang berbeda
tingkat penguasaannya ini dijadikan satu, maka akan terjadi ketimpangan dalam
penerimaan pelajaran. Bentuk ketimpangan itu adalah siswa yang cepat menguasai
pelajaran harus menunggu pada siswa yang kurang cepat menguasai pelajaran
sampai siswa tersebut menguasai pelajaran. Demikian juga gurunya, guru tidak
bisa menerapkan satu cara dalam satu kelas yang sama. Akibatnya, baik siswa
maupun guru sama-sama mengalami kesulitan.
Pelaksanaan
Achievement Grouping telah
menempatkan siswa pada suatu anggapan bahwa anak pandai harus bergabung dengan
anak pandai dan anak kurang pandai harus bergabung dengan anak kurang pandai.
Padahal kecerdasan akademik hanya merupakan sebagian kecil faktor penentu
keberhasilan hidup seeorang. Banyak orang sukses yang ketika sekolah prestasi
akademiknya biasa-biasa saja atau bahkan kurang. Sebaliknya, banyak juga orang
yang gagal dalam karier padahal sewaktu sekoah ia termasuk siswa ‘superior’
dalam prestasi akademik.
Kebijakan dan praktek pengelompokan anak berdasarkan
kemampuan akademis (achievement grouping)
baik di dalam kelas, sekolah, maupun antar sekolah merupakan salah satu topik
penelitian dan perbincangan yang kontroversial di kalangan para pendidik. Para
pendidik yang mendukung praktek ini menyebutkan kemudahan bagi para pengajar
untuk mefokuskan pengajaran pada satu tingkatan kemampuan siswa dan
menyesuaikan kecepatan pengajaran dengan kebutuhan kelompok yang homogen.
Selain itu, anak-anak “pandai” seharusnya diberikan tantangan lebih dan
kesempatan untuk maju lebih cepat dari teman-temannya yang kurang pandai.
Mengajar
di kelas yang berisi anak-anak dengan tingkat dan jenis kemampuan yang berbeda
memang tidak mudah bagi guru. Metode pengajaran satu arah (ceramah, misalnya)
tidak akan efektif. Menurut Renata Nummela Caine dan Geoffrey Caine mengatakan
“keyakinan guru akan potensi manusia dan
kemampuan semua peserta didik untuk belajar dan berprestasi merupakan suatu hal
yang penting diperhatikan. Aspek-aspek teladan mental guru berdampak besar
terhadap iklim belajar dan pemikiran peserta didik yang diciptakan guru. Guru
harus memahami bahwa perasaan dan sikap peserta didik akan terlibat dan berpengaruh
pada proses belajarnya”. Dan inilah
tantangan bagi guru untuk yakin bahwa peserta didiknya mampu untuk berprestasi
dan juga sebagai proses pengembangan profesionalisme guru untuk meningkatkan
pendekatan dan metodologi pengajaran. Pada sisi yang lain, tantangan lebih yang
diberikan kepada anak-anak “pandai” seharusnya tidak hanya berupa materi lebih
sulit yang akan memacu perkembangan kognisi mereka semata. Anak-anak yang
dimasukkan dalam kategori “pandai” seharusnya juga diberi kesempatan untuk mengembangkan
afeksi, kesabaran, dan kedewasaan emosional untuk bisa belajar bersama dengan
anak-anak dengan kapasitas dan kecepatan belajar yang berbeda.
Banyak
penelitian justru mengkritisi praktek pembagian siswa berdasarkan kemampuan
akademis dengan beberapa alasan. Pertama, kriteria yang biasanya digunakan
untuk membagi siswa seringkali merupakan persepsi subyektif dan pemahaman yang
sempit mengenai konsep kecerdasan anak. Kedua, pengelompokan akan
menimbulkan pelabelan anak (pintar, bodoh, cepat, lamban) dan kerancuan antara
konsep kecepatan belajar dengan kapasitas belajar. Ketiga, penempatan
anak pada kelompok atau jalur yang berbeda akan mengarah pada harapan, target,
dan ekspektasi yang berbeda pula terhadap anak padahal ada penelitian yang mendukung
bahwa motivasi dan hasil belajar anak terkait secara positif dengan ekspektasi
guru dan mitra belajarnya. Sekali anak dimasukkan dalam satu kelompok
tertentu, kemungkinan sangat besar anak tersebut akan tetap tinggal di kelompok
itu sampai akhir masa sekolahnya. Vonis mengenai kemampuan anak pada masa
pendidikan sama dengan ramalan yang akan menjadi kenyataan. Bahkan selepas dari masa sekolah, label ini akan terus
melekat dalam diri anak. Di Harvard
Educational Review (1996), Welner dan Oakes.mendesak agar pengadilan turun
tangan dan melarang pengelompokan siswa berdasarkan kemampuan akademis.
Gardner
mengatakan bahwa kita cenderung hanya menghargai orang-orang yang memang ahli
di dalam kemampuan logis-matematis dan bahasa. Apresiasi sekolah diberikan
kepada mereka yang memiliki kombinasi kemampuan itu dengan memberi label: murid
pandai, bintang pelajar, juara kelas dan ranking tinggi pada setiap pembagian
buku raport. Sementara untuk orang-orang yang memiliki talenta di dalam
kecerdasan yang lainnya seperti artis, arsitek, musikus, ahli alam, designer,
penari, terapis, entrepreneurs, dan lain-lain kurang mendapat perhatian. Jarang
sekali sekolah yang memberikan penghargaan pada siswa yang memiliki kemampuan
misalnya olah raga, kepemimpinan, pelukis dan lain-lain. Saat ini banyak anak-anak
yang memiliki talenta, tidak mendapatkan reinforcement di sekolahnya. Banyak
sekali anak yang pada kenyataannya dianggap sebagai anak yang “Learning
Disabled” atau ADD (Attention Deficit Disorder), atau Underachiever, pada saat
pola pemikiran mereka yang unik tidak dapat diakomodasi oleh sekolah. Pihak sekolah hanya menekankan pada kemampuan
logis-matematis dan bahasa.
PENUTUP
A.
Simpulan
Sistem Achievement Grouping dari sisi proses
belajar mengajar adalah baik dan kondusif dalam rangka mencapai tujuan belajar.
Peserta didik terpacu dan tertantang untuk lebih maju lagi. Target pencapaian
nilai akan lebih mudah tercapai. Peserta didik menemukan pola pebelajara yang
sesai dengan tingkat kemampuannya.Guru dapat menerpakan metode yang tepat untuk
kelas.
Dalam
kerangka tujuan pendidikan ideal, yaitu pengembangan aspek pengetahuan, sikap
dan perilaku motorik (sosial) harus diperhatikan. Kondisi peserta didik yang
homogen khususnya kelompok berkemampuan tinggi , apabila memang dibentuk/
diprogramkan maka perlu adanya bimbingan khusus bagi siswa yang mengalami
persoalan dengan masalah sosialnya.
Sistem
Achievement Grouping dapat memicu
kerawanan sosial di sekolah jika tidak diantisipasi dengan baik, yang
melibatkan seuruh koponen sekolah. Jika tidak diantisipasi akan menimbulkan sikap-sikap amoral dan
terjadinya kegagalan social. Karena sistem ini akan sangat mempengaruhi kondisi
psikologi peserta didik.
Penerapan
sistem Achievement Grouping harus bisa mengubah paradigm
peserta didik, bahwa siswa itu mempunyai kecerdasan majemuk, tidak hanya terbatas
pada kecerdasan bidang akademik saja. Selain itu juga harus merubah paradigma
guru, yang tak hanya memikirkan kecerdasan peserta didik dalam suatu bidang
saja tetapi di bidang lain.
Keyakinan
guru akan potensi peserta didik, juga akan mempengaruhi cara guru mengajar
peserta didik. Guru seharusnya yakin bahwa setiap peserta didiknya dapat
mencapai prestasi belajar yang tinggi. Dan sebagai guru harus menunjukkan
profesionalisme dalam mengajar walaupun sulit, karena memang itulah tantangan
untuk guru.
B.
Saran
Guru
atau calon pengajar kiranya perlu mengetahui tentang penggunan sistem
Achievement Grouping dalam Manajemen Kelas/pengelolan kelas. Memberlakukan
sistem Achievement Grouping sebagai langkah pengelolan kelas dengan tujuan
pencapaian pembelajaran secara maksimal memang sangat membantu. Tapi perlu
diperhatikan tentang dampak psikologi peserta didik. Karena peserta didik
tingkat SD belum dapat berpikir secara dewasa dan guru yang menjadi teladan
bagi peserta didiknya.
Daftar
Pustaka
1. Dr.
H. Mahmud, M.Si. 2010. Psikologi Pendidikan. Pustaka Setia.
Bandung.
2.
Abu
Ahmadi, Drs.1991. Psikologi Belajar. Rineka
Cipta. Jakarta.
3.
Departemen Pendidikan
dan Kebudayaan. 1982. Buku II: Modul
Pengelolaan Kelas. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan,
Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Proyek Pengembangan Institusi Pendidikan
Tinggi.
4. Catur Atik Budiati. 2009. Sosiologi Kontekstual untuk SMA dan Ma X. Pusat Departemen
Pendidikan Nasional. Jakarta.
6.
http://psb-psma.org/pemisahansiswapintardengansiswabodohsaatpembelajarandikelas
Abstrak
Pengaturan
kelas ditekankan pada terciptanya suasana yang kooperatif bukannya kompetitif,
harapannya peserta didik yang lemah secara akademik dapat memberikan
konstribusi yang berarti terhadap kesuksesan kelompok kooperatif. Guru
besar perananya dalam menciptakan suasana yang kondusif.
Achievement
Grouping adalah suatu sistem pengelompokan dalam
mengelola kelas yang berdasarkan prestasi belajar/kemampuan dari peserta didik.
Sehingga dalam suatu kelas, peserta didik dikelompokkan menjadi kelompok yang
memiliki kemampuan tinggi dan juga kelompok yang memiliki kemampuan rendah.
Pengelompokkan ini bersdasarkan prestasi belajar yang telah dicapai peserta
didik.
Walaupun memang sistem Achievement
Grouping bertujuan untuk membuat kondisi suasana belajar yang ideal dan
kondusif tapi akan muncul dampak psikologi bagi peserta didik. Dan hal ini
perlu diantisipasi agar tidak terjadi kondisi dimana terdapat kesenjangan
social,kecemburuan social, dan ketidakrukunan diantara peserta didik.
Mengajar di kelas yang
berisi anak-anak dengan tingkat dan jenis kemampuan yang berbeda memang tidak
mudah bagi guru. Metode pengajaran satu arah (ceramah, misalnya) tidak akan
efektif. Dan inilah tantangan bagi guru
untuk yakin bahwa peserta didiknya mampu untuk berprestasi dan juga sebagai
proses pengembangan profesionalisme guru untuk meningkatkan pendekatan dan
metodologi pengajaran.
Harrah's Cherokee Casino Resort - MapYRO
BalasHapusGet directions, reviews and 전주 출장마사지 information for Harrah's 제주도 출장안마 Cherokee 포항 출장샵 Casino 창원 출장마사지 Resort in Cherokee, NC. Hotel Review. Rating: 2 · 1 vote · 김해 출장샵 Price range: $