Pages

Minggu, 02 September 2012

Contoh laporan observasi kelas


Kondisi Fisik SDN Karangasari 1 kelas V
Ukuran kelas sudah mencukupi syarat yaitu 8x7 meter, dilengkapi dengan jendela dan ventilasi yang baik. Cahaya yang masuk melalui jendela sudah cukup tidak terlalu terang dan juga tidak terlalu gelap dan juga sudah dilengkapi dengan lampu sehingga pencahayaan dalam ruangan terjamin. Formasi tempat duduk di kelas ini adalah formasi berderet dengan setiap meja di tempati oleh dua siswa. Dalam penataan perabotan seperti almari, meja guru, dan alat kebersihan sudah baik dan rapi.
Keadaan perlengkapan kebutuhan kelas sudah terpenuhi. Hanya saja untuk gambar pahlawan tidak ada. Di kelas V SDN Karangsari 1 sudah dilengkapi LCD proyektor untuk mendukung proses pembelajaran.Guru juga sudah menggunakan teknologi dalam pembelajaran. Semua alat peraga sudah tersedia di dalam ruang laboraturium.
Keadaan kebersihan dalam kelas sudah terjaga. Tidak ada sampah di lantai dan juga para siswa menjaga kebersihan dengan membuang sampah pada tempat sampah dan juga melaksanakan piket harian yang sudah terjadwal. Kelas V SDN Karangsari 1 memiliki aturan yang telah dibuat oleh siswa dan disetujui oleh guru kelas. Aturan tersebut adalah melepas sepatu saat masuk ke dalam kelas sehingga kelas tetap terjaga kebersihannya.

Kondisi Psikis
Penampilan guru dalam hal berbusana dan berdandan sudah sangat baik. Guru sudah berpakain seragam PSH dengan rapi dan juga telah menyisir rambutnya. Dan tidak ada dandan yang berlebihan yang dilakukan oleh guru tersebut.
Kemampuan guru dalam hal memanajemen kelas sudah baik. Hal ini terlihat dari cara guru mengkondisikan siswa saat di kelas. Siswa tidak merasa bosan dalam pembelajaran sehingga tidak ada pelanggaran-pelanggaran yang terjadi. Saat siswa berdiskusi memang sedikit terlalu ramai tetapi guru dapat mengkondisikan kelas kembali sehingga siswa berdiskusi tidak terlalu gaduh.
Pendekatan yang digunakan oleh guru untuk mengatasi masalah yang timbul dalam proses pembelajaran sudah baik. Saat melakukan observasi, ada beberapa siswa gaduh dalam kelas. Guru melakukan pendekatan otoriter dalam bentuk suatu isyarat, yaitu dengan kata “shhuuttt” dan siswa yang gaduh sudah dapat memahami arti isyarat tersebut dan langsung diam sehingga kelas kembali kondusif lagi.
Tipe guru kelas V SDN Karangsari 1 adalah demokratis. Hal ini terlihat dari aturan tertentu yang telah dibuat oleh siswa kelas V dan yang berlaku untuk kelas V. Aturan tersebut adalah dilarang memakai sepatu saat hendak memasuki ruang kelas V.
            Peranan guru sebagai model sudah baik, Karena guru telah memberikan contoh yang baik kepada siswa dari kata, sikap, dan tindakan. Guru sebagai pembimbing sudah sangat baik karena guru selalu memberikan bimbingan kepada siswa saat siswa menemukan kesulitan maupun saat membutuhkan pengarahan. Guru sebagai fasilitator sudah baik karena guru telah menyediakan media pembelajaran sehingga siswa dapat belajar lebih baik. Guru sebagai perencanaan sudah sangat baik, hal ini terbukti saat pembelajaran yang sukses dan pasti telah dibuat suatu rencana agar pembelajaran tersebut sukses.

PENATAAN TEMPAT DUDUK SISWA



Abstrak
Pengelolaan kelas yang baik akan melahirkan interaksi belajar mengajar yang baik pula. Tujuan pembelajaran pun dapat dicapai tanpa menemukan kendala yang berarti. Dengan tercapainya tujuan pembelajaran, maka dapat dikatakan bahwa guru telah berhasil dalam mengajar. Keberhasilan kegiatan belajar mengajar dapat diketahui setelah diadakan evaluasi dengan seperangkat item soal yang sesuai dengan rumusan tujuan pembelajaran
Pembelajaran yang efektif dapat bermula dari iklim kelas yang dapat menciptakan suasana belajar yang menggairahkan, untuk itu perlu diperhatikan pengaturan/ penataan ruang kelas dan isinya, selama proses pembelajaran. Lingkungan kelas perlu ditata dengan baik sehingga memungkinkan terjadinya interaksi yang aktif antara siswa dengan guru, dan antar siswa
Salah satu bentuk pengelolaan kelas adalah penatan tempat duduk, dimana penatan tempat duduk perlu memperhatikan lingkungan fisik kelas dan juga keanekaragaman karakteristik individu siswa, baik dilihat dari aspek kecerdasan, psikologis, dan biologis siswa itu sendiri,serta mempertimbangkan kesesuaian metode yang digunakan dengan tujuan akhir dari pembelajaran itu sendiri. Hal ini penting karena guru perlu menyusun atau menata tempat duduk yang dapat memberikan suasana yang nyaman bagi para siswa.


BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dalam proses pembelajaran bahwa penguasaan pengetahuan dan keterampilan hidup yang dibutuhkan siswa dalam menghadapi kehidupan rill adalah merupakan tujuan pendidikan. Tetapi dalam proses pembelajaran dalam kelas bagaiamana siswa dapat menguasai dan memahami bahan ajar secara tuntas masih merupakan masalah yang sulit. Hal tersebut dikarenakan bahwa dalam satu kelas para siswa adalah merupakan makhluk sosial yang mempunyai latar belakang yang berbeda. Perbedaan tersebut dapat dilihat dari aspek kecerdasan, pisikologis, biologis.
Dari perbedaan tersebut maka dapat menimbulkan beragamnya sikap dan anak didik di dalam kelas. Menjadi tugas guru bagaiman menjadikan keanekaragaman karakteristik siswa tersebut dapat diatasi sehingga tujuan pembelajaran dapat tercapai. Hal itu merupakan tugas bagi guru dalam mengelola kelas dengan baik. Keterampilan guru dalam pelaksanaan proses pembelajaran tidak hanya tertuang dalam penguasaan bahan ajar atau penggunaan metode pembelajaran, tetapi proses pembelajaran yang baik akan dipengaruhi pula oleh iklim belajar yang kondusif atau maksimal berkaitan dengan pengaturan orang (siswa) dan barang.
Banyaknya keluhan guru karena sukarnya mengelola kelas sehingga tujuan pembelajaran sukar untuk dicapai. Hal ini kiranya tidak perlu terjadi apabila ada usaha yang dapat dilakukan oleh guru dalam menciptakan iklim belajar yang kondusif dan maksimal. Misalnya penataan ruang kelas berupa pengaturan/ penataan tempat duduk yang sesuai dengan kegiatan yang sedang berlangsung.
Pengelolaan kelas yang baik akan melahirkan interaksi belajar mengajar yang baik pula. Tujuan pembelajaran pun dapat dicapai tanpa menemukan kendala yang berarti. Dengan tercapainya tujuan pembelajaran, maka dapat dikatakan bahwa guru telah berhasil dalam mengajar. Keberhasilan kegiatan belajar mengajar dapat diketahui setelah diadakan evaluasi dengan seperangkat item soal yang sesuai dengan rumusan tujuan pembelajaran.
Dari permasalahan tersebut maka kiranya perlu bagi guru atau calon pengajar mengetahui dan memahami tentang pengelolaan kelas, salah satunya yaitu pengaturan ruangan kelas berupa penataan tempat duduk siswa.
B. Rumasan Masalah
1.Apa yang dimagsut pengelolaan kelas?
2.Bagaimana syarat ruang kelas yang baik?
3.Bagaimana penataan tempat duduk siswa yang baik?

C. Tujuan
Dari pemaparan di atas maka yang menjadi tujuan penulisan makalah ini yaitu:
1.Untuk memperoleh gambaran tentang apa itu pengelolaan kelas
2.Untuk mengetahui syarat-syarat ruang kelas yang baik
3.Untuk memperoleh gambaran tentang penataan tempat duduk siswa sebagai bentuk dari pengelolaan kelas yang dilakukan oleh guru dalam upaya pencapaian tujuan pembelajaran dan pendidikan.


BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Pengelolaan Kelas
Menurut Winataputra (2003), menyatakan bahwa pengelolaan kelas adalah serangkaian kegiatan guru yang ditujukan untuk mendorong munculnya tingkah laku siswa yang diharapkan dan menghilangkan tingkah laku siswa yang tidak diharapkan, menciptakan hubungan interpersonal yang baik dan iklim sosoi- emosional yang positif , serta menciptakan dan memelihara organisasi kelas yang produktif dan efektif.
Akhmad Sudrajat (akhmadsudrajat.wordpress.com), menyatakan bahwa: “Pengelolaan kelas lebih berkaitan dengan upaya-upaya untuk menciptakan dan mempertahankan kondisi yang optimal bagi terjadinya proses belajar (pembinaan rapport, penghentian perilaku peserta didik yang menyelewengkan perhatian kelas, pemberian ganjaran, penyelesaian tugas oleh peserta didik secara tepat waktu, penetapan norma kelompok yang produktif), didalamnya mencakup pengaturan orang (peserta didik) dan fasilitas”.
Dan menurut Winzer (Winataputra, 1003: 9.9) menyatakan bahwa pengelolaan kelas adalah cara-cara yang ditempuh guru dalam menciptakan lingkungan kelas agar tidak terjadi kekacauan dan memberikan kesempatan kepada siswa untuk mencapai tujuan akademis dan sosial.
Dari pendapat diatas maka dapat disimpulkan bahwa pengelolaan kelas adalah kegiatan yang dilakukan oleh guru yang ditujukan untuk menciptakan kondisi kelas yang memungkinkan berlangsungnya proses pembelajaran yang kondusif dan maksimal. Pengelolaan kelas ditekankan pada aspek pengaturan (management) lingkungan pembelajaran yaitu berkaitan dengan pengaturan orang (siswa) dan barang/ fasilitas. Kegiatan guru tersebut dapat berupa pengaturan kondisi dan fasilitas yang berada di dalam kelas yang diperlukan dalam proses pembelajaran diantaranya tempat duduk, perlengkapan dan bahan ajar, lingkungan kelas (cahaya, temperatur udara, ventilasi) dll.
B. Penataan Ruang Kelas
Pembelajaran yang efektif dapat bermula dari iklim kelas yang dapat menciptakan suasana belajar yang menggairahkan, untuk itu perlu diperhatikan pengaturan/ penataan ruang kelas dan isinya, selama proses pembelajaran. Lingkunagan kelas perlu ditata dengan baik sehingga memungkinkan terjadinya interaksi yang aktif antara siswa dengan guru, dan antar siswa. Ada beberapa prinsip yang perlu diperhatikan oleh guru dalam menata lingkungan fisik kelas menurut Loisell (Winataputra, 2003: 9.22) yaitu:
1. Visibility ( Keleluasaan Pandangan)
Visibility artinya penempatan dan penataan barang-barang di dalam kelas tidak mengganggu pandangan siswa, sehingga siswa secara leluasa dapat memandang guru, benda atau kegiatan yang sedang berlangsung. Begitu pula guru harus dapat memandang semua siswa kegiatan pembelajaran.
2. Accesibility (mudah dicapai)
Penataan ruang harus dapat memudahkan siswa untuk meraih atau mengambil barang-barang yang dibutuhkan selama proses pembelajaran. Selain itu jarak antar tempat duduk harus cukup untuk dilalui oleh siswa sehingga siswa dapat bergerak dengan mudah dan tidak mengganggu siswa lain yang sedang bekerja.
3. Fleksibilitas (Keluwesan)
Barang-barang di dalam kelas hendaknya mudah ditata dan dipindahkan yang disesuaikan dengan kegiatan pembelajaran. Seperti penataan tempat duduk yang perlu dirubah jika proses pembelajaran menggunakan metode diskusi, dan kerja kelompok.
4. Kenyamanan
Kenyamanan disini berkenaan dengan temperatur ruangan, cahaya, suara, dan kepadatan kelas.
5. Keindahan
Prinsip keindahan ini berkenaan dengan usaha guru menata ruang kelas yang menyenangkan dan kondusif bagi kegiatan belajar. Ruangan kelas yang indah dan menyenangkan dapat berengaruh positif pada sikap dan tingkah laku siswa terhadap kegiatan pembelajaran yang dilaksanakan.
Penyusunan dan pengaturan ruang belajar hendaknya memungkinkan anak duduk bekelompok dan memudahkan guru bergerak secara leluasa untuk membantu dan memantau tingkah laku siswa dalam belajar. Dalam pengaturan ruang belajar, hal-hal berikut perlu diperhatikan menurut Conny Semawan,dkk. (udhiezx.wordpress: 3) yaitu:
  • Ukuran bentuk kelas
  • Bentuk serta ukuran bangku dan meja
  • Jumlah siswa dalam kelas
  • Jumlah siswa dalam setiap kelompok
  • Jumlah kelompok dalam kelas
  • Komposisi siswa dalam kelompok (seperti siswa yang pandai dan kurang pandai, pria dan wanita).
Berkaitan dengan penataan ruang kelas belajar maka pada penulisan makalah ini hanya berkaitan dengan pengelolaan kelas berupa penempatan tempat duduk siswa saja.
C. Tempat Duduk Siswa
Tempat duduk merupakan fasilitas atau barang yang diperlukan oleh siswa dalam proses pembelajaran terutama dalam proses belajar di kelas di sekolah formal.tempat duduk dapat mempengaruhi proses pembelajaran siswa, bila tempat duduknya bagus, tidak terlalu rendah, tidak terlalu besar, bundar, persegi empat panjang, sesuai dengan keadaan tubuh siswa. Maka siswa akan merasa nyaman dan dapat belajar dengan tenang.
Bentuk dan ukuran tempat yang digunakan bermacam-macam, ada yang satu tempat duduk dapat di duduki oleh seorang siswa, dan satu tempat yang diduduki oleh beberapa orang siswa. Sebaiknya tempat duduk siswa itu mudah di ubah-ubah formasinya yang disesuaikan dengan kebutuhan kegiatan pembelajaran. Untuk ukuran tempat dudukpun sebaiknya tidak terlalu besar ataupun terlalu kecil sehingga mudah untuk diubah-ubah dan juga harus disesuaikan dengan ukuran bentuk kelas.
Sebenarnya banyak macam posisi tempat duduk yang bias digunakan di dalam kelas seperti berjejer ke belakang, bentuk setengah lingkaran, berhadapan, dan sebagainga. Biasanya posisi tempat duduk berjejer kebelakang digunakandalam kelas dengan metode belajar ceramah. Dan untuk metode diskusi dapat menggunakan posisi setengah lingkaran atau berhadapan. Dan sebagai alternatif penataan tempat duduk dengan metode kerja kelompok atau bahkan bentuk pembelajaran kooperatif, maka menurut Lie (2007: 52) ada beberapa model penataan bangku yang biasa digunakan dalam pembelajaran kooperatif, diantaranya seperti:
  • Meja tapal kuda, siswa bekelompok di ujung meja
  • Penataan tapal kuda, siswa dalam satu kelompok ditempatkan berdekatan
  • Meja Panjang
  • Meja Kelompok, siswa dalam satu kelompok ditempatkan berdekatan
  • Meja berbaris, dua kelompok duduk berbagi satu meja
Dan masih ada beberapa bentuk posisi tempat duduk yang dapat diterapkan dalam pembelajaran kooperatif ini.
Dalam memilih desain penataan tempat duduk perlu memperhatikan jumlah siswa dalam satu kelas yang kan disesuaikan pula dengan metode yang akan digunakan.
Hal yang tidak boleh kita lupakan bahwa dalam penataan tempat duduk siswa tersebut guru tidak hanya menyesuaikan dengan metode pembelajaran yang digunakan saja. Tetapi seorang guru perlu mempertimbangkan karakteristik individu siswa, baik dilihat dari aspek kecerdasan, psikologis, dan biologis siswa itu sendiri. Hal ini penting karena guru perlu menyusun atau menata tempat duduk yang dapat memberikan suasana yang nyaman bagi para siswa.
Menurut Abu Ahmadi dan Widodo Supriyono (udhiezx.wordpress: 4) melihat siswa sebagai individu dengan segala perbedaan dan persamaannya yang pada intinya mencakup ketiga aspek di atas. Persamaan dan perbedaan dimaksud adalah :
  • Persamaan dan perbedaan dalam kecerdasan (inteligensi).
  • Persamaan dan perbedaan dalam kecakapan
  • Persamaan dan perbedaan dalam hasil belajar
  • Persamaan dan perbedaan dalam bakat
  • Persamaan dan perbedaan dalam sikap
  • Persamaan dan perbedaan dalam kebiasaan
  • Persamaan dan perbedaan dalam pengetahuan/pengalaman
  • Persamaan dan perbedaan dalam ciri-ciri jasmaniah
  • Persamaan dan perbedaan dalam minat
  • Persamaan dan perbedaan dalam cita-cita
  • Persamaan dan perbedaan dalam kebutuhan
  • Persamaan dan perbedaan dalam kepribadian
  • Persamaan dan perbedaan dalam pola-pola dan tempo perkembangan
  • Persamaan dan perbedaan dalam latar belakang lingkungan.
Berbagai persamaan dan perbedaan kepribadian siswa di atas, sangat berguna dalam membantu usaha pengaturan siswa di kelas. Terutama berhubungan dengan masalah bagaimana pola pengelompokan siswa dan penataan tempat duduk dengan metode belajar kelompok guna menciptakan lingkungan belajar aktif dan kreatif, sehingga kegiatan belajar yang penuh kesenangan dan bergairah dapat terlaksana.
Penempatan siswa kiranya harus mempertimbangan pula pada aspek biologis seperti, postur tubuh siswa, dimana menempatkan siswa yang mempunyai tubuh tinggi dan atau rendah. Dan bagaimana menempatkan siswa yang mempunyai kelainan dalam arti secara psikologis, misalnya siswa yang hiper aktif, suka melamun, dll.
D. Penataan Tempat Duduk Siswa Sebagai Bentuk Pengelolaan Kelas
Tujuan utama penataan lingkungan fisik kelas ialah mengarahkan kegiatan siswa dan mencegah munculnya tingkah laku siswa yang tidak diharapkan melalui penataan tempat duduk, perabot, pajangan, dan barang-barang lainnya di dalam kelas.
Penataan tempat duduk adalah salah satu upaya yang dilakukan oleh guru dalam mengelola kelas. Karena pengelolaan kelas yang efektif akan menentukan hasil pembelajaran yang dicapai. Dengan penataan tempat duduk yang baik maka diharapkan akan menciptakan kondisi belajar yang kondusif, dan juga menyenangkan bagi siswa. Hal ini sesuai dengan pendapat Winzer (Winataputra, 2003: 9-21) bahwa “penataan lingkungan kelas yang tepat berpengaruh terhadap tingkat keterlibatan dan partisipasi siswa dalam proses pembelajaran. Lebih jauh, diketahui bahwa tempat duduk berpengaruh jumlah terhadap waktu yang digunakan siswa untuk menyelesaikan tugas yang diberikan”.
Sesuai dengan maksud pengelolaan kelas sendiri bahwa pengelolaan kelas merupakan upaya yang dilakukan oleh guru dalam menciptakan lingkungan pembelajaran yang kondusif, melalui kegiatan pengaturan siswa dan barang/ fasilitas. Selain itu pengelolaan kelas dimaksudkan untuk menciptakakan, memelihara tingkah laku siswa yang dapat mendukung proses pembelajaran. Maka dengan demikian pengelolaan kelas berupa penataan tempat duduk siswa sebagai bentuk pengelolaan kelas dapat membantu menciptakan proses pembelajaran yang sesuai dengan tujuan.


BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Keterampilan pengelolaan kelas perlu dimiliki oleh guru, karena hal ini akan membantu dalam pencapaian tujuan pembelajaran sendiri. Pengelolaan kelas adalah kegiatan yang dilakukan oleh guru yang ditujukan untuk menciptakan kondisi kelas yang memungkinkan berlangsungnya proses pembelajaran yang kondusif dan maksimal. Pengelolaan kelas ditekankan pada aspek pengaturan (management) lingkungan pembelajaran yaitu berkaitan dengan pengaturan orang (siswa) dan barang/ fasilitas.
Salah satu bentuk pengelolaan kelas adalah penatan tempat duduk, dimana penatan tempat duduk perlu memperhatikan lingkungan fisik kelas dan juga keanekaragaman karakteristik siswa, serta mempertimbangkan kesesuaian metode yang digunakan dengan tujuan akhir dari pembelajaran itu sendiri.
Kondisi dan posisi tempat duduk dapat menentukan tingkat aktivitas belajar siswa di kelas. Hal tersebut sisebabkan karena tempat duduk yang nyaman akan membantu siswa untuk tenang dalam belajar dan apat pula menimbulkan gairah belajar siswa.
B. Saran
Kiranya perlu menjadi perhatian bagi guru dan bahkan calon pengajar bahwa keterampilan mengelola kelas salah satunya penataan tempat duduk harus dikuasai. Pengelolaan kelas menyangkut kepada menciptakan iklim atau kondisi belajar yang kondusif dan aksimal. Melalui penatan tempat duduk yang tepat diharapkan akan menfasilitasi siswa untuk belajar dengan aktif. Adapun saran yang dapat dilakukan dalam penatan tempat duduk seperti:
  • Menentukan posisi tempat duduk yang disesuaikan dengan metode pembelajaran dan tujuan pembelajaran.
  • Kondisi baik bentuk, ukuran tempat duduk harus baik dan pas
  • Menggunakan tempat duduk yang mudah diatur atau diubah-ubah untuk mempermudah merubah posisi tempat duduk
  • Penempatan siswa sesuai dengan karakteristik yang dimilikinya, misalnya menempatkan siswa yang berpostur tingi di belakang, menempatkan siswa yang hiper aktif di depan sehingga guru mudah untuk memantau.


DAFTAR PUSTAKA
Akhmad Sudrajat. 2008. Teknik Pengelolaan Kelas. http://akhmadsudrajat.wordpress.com.
Anita Lie. 2007. Cooperative Learning (Memperaktikan Cooperatif Learning di Ruang-ruang Kelas). Jakarta: PT Grasindo
Udin S. Winataputra. 2003. Srategi Belajar mengajar. Jakarta: Universitas Terbuka Departemen Pendidikan Nasional
http://udhiexz.wordpress.com/2008/05/27/pengelolaan-kelas
Epa Muhopilah*)) adalah mahasiswa tingkat IV pada Program Studi Pendidikan Ekonomi FKIP-Universitas Kuningan.


















Achievement Grouping Dalam Manajemen Kelas


PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Pendidikan adalah suatu usaha atau kegiatan yang dijalankan dengan sengaja, teratur dan berencana dengan maksud mengubah atau mengembangkan perilaku yang diinginkan. Sekolah sebagai lembaga formal merupakan sarana dalam rangka pencapaian tujuan pendidikan tersebut. Melalui sekolah, peserta didik dapat belajar pengetahuan dan keterampilan hidup untuk bekal masa depannya. Belajar akan menghasilkan perubahan-perubahan dalam diri seseorang. Untuk mengetahui sampai seberapa jauh perubahan yang terjadi, perlu adanya penilaian. Begitu juga dengan yang terjadi pada seorang siswa yang mengikuti suatu pendidikan selalu diadakan penilaian dari hasil belajarnya. Penilaian terhadap hasil belajar seorang peserta didik untuk mengetahui sejauh mana telah mencapai sasaran belajar inilah yang disebut sebagai prestasi belajar. Tentunya prestasi belajar setiap peserta didik tidaklah sama karena setiap peserta didik memiliki latar belakang yang berbeda baik dari segi kecerdasan, psikologis, maupun biologis.
Perbedaan antar peserta didik ini mengharuskan layanan pendidikan yang berbeda terhadap mereka. Oleh itu karena layanan yang berbeda secara individual demikian dianggap kurang efisien, maka dilakukan pengelompokan berdasarkan persamaan dan perbedaan peserta didik, agar kekurangan pada pengajaran secara klasikal dapat dikurangi.
Banyak guru yang mengelompokkan peserta didiknya berdasarkan prestasi belajarnya di kelas. Pengelompokan demikian ia namai dengan achievement grouping. Dengan adanya pengelompokan demikian, maka peserta didik yang berprestasi tinggi dikelompokkan dengan peserta didik yang berprestasi tinggi, sementara yang berprestasi rendah, dikelompokkan ke dalam yang berprestasi rendah.
Alasan pengelompokan peserta didik juga didasarkan atas realitas bahwa peserta didik secara terus-menerus bertumbuh dan berkembang. Pertumbuhan dan perkembangan peserta didik satu dengan yang lain berbeda. Agar perkembangan peserta didik yang cepat tidak mengganggu peserta didik yang lambat dan sebaliknya (peserta didik yang lambat tidak mengganggu yang cepat), maka dilakukanlah pengelompokan peserta didik . Tidak jarang dalam pengajaran yang menggunakan sistem klasikal, peserta didik yang lambat, tidak akan dapat mengejar peserta didik yang cepat. Dengan melakukan sistem pengelompokan seperti itu yang lebih dikenal dengan Achievement Grouping, banayak guru yang menganggap lebih mudah memberikan pelayanan kepada siswa guna mencapai tujuan pembelajaran secara maksimal.
Dari permasalahan tersebut maka perlu bagi guru mengetahui relevan atau tidak menggunakan sistem achievement grouping atau pengelompokan berdasarkan prestasi belajarnya dalam mengelola kelas demi mencapai tujuan pembelajaran secara maksimal.
B. Rumasan Masalah
1. Apa manfaat achievement grouping dalam mengelola kelas?
2. Adakah dampak yang timbul dari achievement grouping dalam mengelola kelas?
3. Apakah relevan mengguanakan achievement grouping dalam mengelola kelas sebagai upaya untuk memudahkan guru memberikan pelayanan kepada siswa?
C. Tujuan
Dari pemaparan di atas maka yang menjadi tujuan penulisan makalah ini yaitu:
1.Untuk mengetahui manfaat dari acvievement grouping.
2.Untuk mengetahui dampak yang timbul dari achievement grouping.
3.Untuk mengetahui tentang penerapan achievement grouping sebagai salah satu upaya untuk memudahkan guru dalam memaksimalkan tujuan pembelajaran.

PEMBAHASAN

A.                Pengertian Achievement Groping
Pengelompokan atau grouping adalah pengelompokan peserta didik berdasarkan karakteristik-karakteristiknya. Karakteristik demikian perlu digolongkan, agar mereka berada dalam kondisi yang sama. Adanya kondisi yang sama ini bisa memudahkan pemberian layanan yang sama.
Hendyat Soetopo (1982) mengemukakan bahwa Achievement Grouping adalah suatu sistem pengelompokan yang berdasarkan prestasi belajar dari peserta didik. Dengan adanya pengelompokan demikian, maka peserta didik yang berprestasi tinggi dikelompokkan dengan peserta didik yang berprestasi tinggi, sementara yang berprestasi rendah, dikelompokkan ke dalam yang berprestasi rendah. Ada tiga macam pengelompokan yang didasarkan atas achievement grouping ini, yaitu: kelompok untuk peserta didik yang cepat berpikir, kelompok untuk peserta didik yang sedang dan kelompok untuk peserta didik yang lambat belajar.
Menurut Regan (1996) Achievement Grouping adalah pengelompokan berdasarkan kemampuan peserta didik. Peserta didik yang mempunyai tingkat kemampuan yang sama ditempatkan pada kelompok yang sama. Peserta didik yang sama-sama tinggi kemampuannya ditempatkan pada kelompok yang kemampuannya tinggi, sementara peserta didik yang kemampuannya rendah ditempatkan dalam kelompok peserta didik yang berkemampuan rendah.
Dari pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa Achievement Grouping adalah suatu sistem pengelompokan dalam mengelola kelas yang berdasarkan prestasi belajar/kemampuan dari peserta didik. Sehingga dalam suatu kelas, peserta didik dikelompokkan menjadi kelompok yang memiliki kemampuan tinggi dan juga kelompok yang memiliki kemampuan rendah. Pengelompokkan ini bersdasarkan prestasi belajar yang telah dicapai peserta didik.


B.                 Manfaat Penerapan Achievement Grouping Dalam Manajemen Kelas
Pengaturan kelas ditekankan pada terciptanya suasana yang kooperatif bukannya kompetitif, harapannya siswa-siswa yang lemah secara akademik dapat memberikan konstribusi yang berarti terhadap kesuksesan kelompok kooperatif.  Guru besar perananya dalam menciptakan  suasana yang kondusif.
Kelebeihan dari penerapan sistem Achievement Grouping diantaranya adalah:
1.      Guru dapat lebih mudah dalam memberikan pelayanan dan perhatian.
Dengan menggunakan sistem Achievement Grouping dalam mengelola kelas, guru dapat lebih mudah memberikan pelayanan dan perhatian kepada peserta didik sehingga guru dapat memaksimalkan tujuan pembelajaran.
2.      Menciptakan kondisi ideal dan kondusif.
Secara obyektif sistem Achievement Grouping akan memberikan kondisi pada suasana belajar yang ideal dan kondusif untuk mencapai tujuan pembelajaran secara maksimal. Guru dengan mudah menyampaikan materi, selanjutnya siswa akan menanggapi dalam proses belajar dengan lebih mudah. Pada akhirnya prestasi akademik siswa akan mudah termonitor dan mudah pula melakukan perlakukan-perlakuan khusus dalam rangka perbaikan atau pengayaan. Baik siswa yang terkelompok sebagai siswa berpotensial tinggi (pintar) ataupun siswa yang terkelompok sebagai siswa berpotensial rendah (kurang pandai), akan dengan mudah termonitor oleh guru. Perlakuan guru dalam proses pembelajaran di dua kelompok tersebut akan meningkatkan prestasi siswa.
3.      Peserta didik yang berkemampuan tinggi tidak merasa terhambat perkembangannya.
Peserta didik yang mempunyai kemampuan lebih tinggi, tidak merasa terhambat perkembangannya oleh peserta didik yang berkemampuan rendah. Terkadang dari dalam diri peserta didik muncul rasa kesal apabila proses belajarnya terhambat oleh peserta didik yang berkemampuan lebih rendah darinya.
4.      Peserta didik yang berkemampuan rendah tidak merasa tertinggal jauh dengan anggota kelompoknya
Peserta didik yang berkemampuan rendah tidak merasa tertinggal jauh dengan anggota kelompoknya. Suatu rasa nyaman apabila peserta didik yang berkemampuan rendah memiliki teman/kelompok, dimana teman/kelompok juga memiliki kemampuan yang sama rendahnya.

C.                 Dampak  Achievement Grouping
Guru harus membuat persiapan yang berbeda-beda, ada rancangan pembelajaran yang dikhususkan untuk peserta didik berkemampuan rendah, dan ada yang dikhususkan untuk peserta didik yang berkemempuan tinggi. Tentunya hal ini akan lebih memakan waktu untuk guru dalam membuat rancangan pembelajaran. Dan pada kenyataanya tidak semua guru membuat rancangan pembelajaran yang dikhususkan untuk kelompok berkemampuan tinggi maupun kelompok yang berkemampuan rendah. Jadi Cuma ada satu rancangan pembelajaran dan pada penerapannya guru lebih berkonsentrasi pada satu kelompok.
Peserta didik yang masuk ke dalam kelompok superior merasa dirinya lebih dan sombong serta suka membanggakan diri. Hal ini dapat terjadi jika kelompok yang memiliki kemampuan tinggi tidak ditanamkan budipekerti yang baik. Hal ini juga dapat memicu perselisihan antara kelompok tinggi dan kelompok rendah.
Interaksi antara peserta didik yang ada di kelompok kemampuan tinggi dengan peserta didik yang ada di kelompok rendah juga dapat terganggu. Hal ini dikarenakan peserta didik memilih-milih teman. Anak pandai akan lebih banyak bergaul dengan anak pandai dan anak kurang pandai akan bergaul dengan anak yang kurang pandai. Guru pun seolah memberikan label bahwa si A anak pandai karena nilai-nilainya bagus sedangkan si B anak bodoh karena niai-nilainya jelek.
Peserta didik kurang pandai merasa tersisih dan kurang percaya diri. Cap bahwa ia ‘bodoh’ seolah sudah melekat pada dirinya yang menjadikan ia tampak canggung dan merasa serba salah.(Teori Labeling,Lemert). Hal ini kadang diperparah dengan sikap guru yang kadang melontarkan perkatan-perkataan tidak pada tempatnya, seperti: “Coba seperti si A itu, ia selalu dapat nilai di atas 9”, “Contohlah si A ia selalu rajin belajar” ataupun “Jangan seperti si B sudah bodoh, malas lagi”. Hal ini tentunya dapat menggangu kondisi psikologi peserta didik.
Dengan adanya pengelompokan peserta didik berdasarkan prestasi, peserta didik yang termasuk dalam kelompok berkemampuan rendah pasti akan merasa kecewa pada dirinya sendiri sehingga hal ini akan memicu rasa frustasi dalam diri peserta didik tersebut.
Peserta didik yang pandai memerlukan layanan pembelajaran yang berbeda dengan peserta didik yang kurang pandai. Anggapan ini didasarkan bahwa siswa yang pandai cenderung lebih cepat menerima pelajaran dan lebih mudah menerima pelajaran dibandingkan dengan siswa yang kurang pandai. Jika kedua kelompok yang berbeda tingkat penguasaannya ini dijadikan satu, maka akan terjadi ketimpangan dalam penerimaan pelajaran. Bentuk ketimpangan itu adalah siswa yang cepat menguasai pelajaran harus menunggu pada siswa yang kurang cepat menguasai pelajaran sampai siswa tersebut menguasai pelajaran. Demikian juga gurunya, guru tidak bisa menerapkan satu cara dalam satu kelas yang sama. Akibatnya, baik siswa maupun guru sama-sama mengalami kesulitan.
Pelaksanaan Achievement Grouping telah menempatkan siswa pada suatu anggapan bahwa anak pandai harus bergabung dengan anak pandai dan anak kurang pandai harus bergabung dengan anak kurang pandai. Padahal kecerdasan akademik hanya merupakan sebagian kecil faktor penentu keberhasilan hidup seeorang. Banyak orang sukses yang ketika sekolah prestasi akademiknya biasa-biasa saja atau bahkan kurang. Sebaliknya, banyak juga orang yang gagal dalam karier padahal sewaktu sekoah ia termasuk siswa ‘superior’ dalam prestasi akademik.
Kebijakan dan praktek pengelompokan anak berdasarkan kemampuan akademis (achievement grouping) baik di dalam kelas, sekolah, maupun antar sekolah merupakan salah satu topik penelitian dan perbincangan yang kontroversial di kalangan para pendidik. Para pendidik yang mendukung praktek ini menyebutkan kemudahan bagi para pengajar untuk mefokuskan pengajaran pada satu tingkatan kemampuan siswa dan menyesuaikan kecepatan pengajaran dengan kebutuhan kelompok yang homogen. Selain itu, anak-anak “pandai” seharusnya diberikan tantangan lebih dan kesempatan untuk maju lebih cepat dari teman-temannya yang kurang pandai.
Mengajar di kelas yang berisi anak-anak dengan tingkat dan jenis kemampuan yang berbeda memang tidak mudah bagi guru. Metode pengajaran satu arah (ceramah, misalnya) tidak akan efektif. Menurut Renata Nummela Caine dan Geoffrey Caine mengatakan “keyakinan guru akan potensi manusia dan kemampuan semua peserta didik untuk belajar dan berprestasi merupakan suatu hal yang penting diperhatikan. Aspek-aspek teladan mental guru berdampak besar terhadap iklim belajar dan pemikiran peserta didik yang diciptakan guru. Guru harus memahami bahwa perasaan dan sikap peserta didik akan terlibat dan berpengaruh pada proses belajarnya”. Dan  inilah tantangan bagi guru untuk yakin bahwa peserta didiknya mampu untuk berprestasi dan juga sebagai proses pengembangan profesionalisme guru untuk meningkatkan pendekatan dan metodologi pengajaran. Pada sisi yang lain, tantangan lebih yang diberikan kepada anak-anak “pandai” seharusnya tidak hanya berupa materi lebih sulit yang akan memacu perkembangan kognisi mereka semata. Anak-anak yang dimasukkan dalam kategori “pandai” seharusnya juga diberi kesempatan untuk mengembangkan afeksi, kesabaran, dan kedewasaan emosional untuk bisa belajar bersama dengan anak-anak dengan kapasitas dan kecepatan belajar yang berbeda.
Banyak penelitian justru mengkritisi praktek pembagian siswa berdasarkan kemampuan akademis dengan beberapa alasan. Pertama, kriteria yang biasanya digunakan untuk membagi siswa seringkali merupakan persepsi subyektif dan pemahaman yang sempit mengenai konsep kecerdasan anak.  Kedua, pengelompokan akan menimbulkan pelabelan anak (pintar, bodoh, cepat, lamban) dan kerancuan antara konsep kecepatan belajar dengan kapasitas belajar.  Ketiga, penempatan anak pada kelompok atau jalur yang berbeda akan mengarah pada harapan, target, dan ekspektasi yang berbeda pula terhadap anak padahal ada penelitian yang mendukung bahwa motivasi dan hasil belajar anak terkait secara positif dengan ekspektasi guru dan mitra belajarnya.  Sekali anak dimasukkan dalam satu kelompok tertentu, kemungkinan sangat besar anak tersebut akan tetap tinggal di kelompok itu sampai akhir masa sekolahnya.  Vonis mengenai kemampuan anak pada masa pendidikan sama dengan ramalan yang akan menjadi kenyataan.  Bahkan selepas dari masa sekolah, label ini akan terus melekat dalam diri anak.  Di Harvard Educational Review (1996), Welner dan Oakes.mendesak agar pengadilan turun tangan dan melarang pengelompokan siswa berdasarkan kemampuan akademis.
Gardner mengatakan bahwa kita cenderung hanya menghargai orang-orang yang memang ahli di dalam kemampuan logis-matematis dan bahasa. Apresiasi sekolah diberikan kepada mereka yang memiliki kombinasi kemampuan itu dengan memberi label: murid pandai, bintang pelajar, juara kelas dan ranking tinggi pada setiap pembagian buku raport. Sementara untuk orang-orang yang memiliki talenta di dalam kecerdasan yang lainnya seperti artis, arsitek, musikus, ahli alam, designer, penari, terapis, entrepreneurs, dan lain-lain kurang mendapat perhatian. Jarang sekali sekolah yang memberikan penghargaan pada siswa yang memiliki kemampuan misalnya olah raga, kepemimpinan, pelukis dan lain-lain. Saat ini banyak anak-anak yang memiliki talenta, tidak mendapatkan reinforcement di sekolahnya. Banyak sekali anak yang pada kenyataannya dianggap sebagai anak yang “Learning Disabled” atau ADD (Attention Deficit Disorder), atau Underachiever, pada saat pola pemikiran mereka yang unik tidak dapat diakomodasi oleh sekolah. Pihak sekolah hanya menekankan pada kemampuan logis-matematis dan bahasa.

PENUTUP
A.                Simpulan
 Sistem Achievement Grouping dari sisi proses belajar mengajar adalah baik dan kondusif dalam rangka mencapai tujuan belajar. Peserta didik terpacu dan tertantang untuk lebih maju lagi. Target pencapaian nilai akan lebih mudah tercapai. Peserta didik menemukan pola pebelajara yang sesai dengan tingkat kemampuannya.Guru dapat menerpakan metode yang tepat untuk kelas.
Dalam kerangka tujuan pendidikan ideal, yaitu pengembangan aspek pengetahuan, sikap dan perilaku motorik (sosial) harus diperhatikan. Kondisi peserta didik yang homogen khususnya kelompok berkemampuan tinggi , apabila memang dibentuk/ diprogramkan maka perlu adanya bimbingan khusus bagi siswa yang mengalami persoalan dengan masalah sosialnya.
Sistem Achievement Grouping dapat memicu kerawanan sosial di sekolah jika tidak diantisipasi dengan baik, yang melibatkan seuruh koponen sekolah. Jika tidak diantisipasi  akan menimbulkan sikap-sikap amoral dan terjadinya kegagalan social. Karena sistem ini akan sangat mempengaruhi kondisi psikologi peserta didik.
Penerapan sistem Achievement Grouping harus bisa mengubah paradigm peserta didik, bahwa siswa itu mempunyai kecerdasan majemuk, tidak hanya terbatas pada kecerdasan bidang akademik saja. Selain itu juga harus merubah paradigma guru, yang tak hanya memikirkan kecerdasan peserta didik dalam suatu bidang saja tetapi di bidang lain.
Keyakinan guru akan potensi peserta didik, juga akan mempengaruhi cara guru mengajar peserta didik. Guru seharusnya yakin bahwa setiap peserta didiknya dapat mencapai prestasi belajar yang tinggi. Dan sebagai guru harus menunjukkan profesionalisme dalam mengajar walaupun sulit, karena memang itulah tantangan untuk guru.

B.                 Saran
Guru atau calon pengajar kiranya perlu mengetahui tentang penggunan sistem Achievement Grouping dalam Manajemen Kelas/pengelolan kelas. Memberlakukan sistem Achievement Grouping sebagai langkah pengelolan kelas dengan tujuan pencapaian pembelajaran secara maksimal memang sangat membantu. Tapi perlu diperhatikan tentang dampak psikologi peserta didik. Karena peserta didik tingkat SD belum dapat berpikir secara dewasa dan guru yang menjadi teladan bagi peserta didiknya.

Daftar Pustaka

1.      Dr. H. Mahmud, M.Si. 2010. Psikologi Pendidikan. Pustaka Setia. Bandung.
2.      Abu Ahmadi, Drs.1991. Psikologi Belajar. Rineka Cipta. Jakarta.
3.      Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1982. Buku II: Modul Pengelolaan Kelas. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Proyek Pengembangan Institusi Pendidikan Tinggi.
4.      Catur Atik Budiati. 2009. Sosiologi Kontekstual untuk SMA dan Ma X. Pusat Departemen Pendidikan Nasional. Jakarta.
6.      http://psb-psma.org/pemisahansiswapintardengansiswabodohsaatpembelajarandikelas


Abstrak
Pengaturan kelas ditekankan pada terciptanya suasana yang kooperatif bukannya kompetitif, harapannya peserta didik yang lemah secara akademik dapat memberikan konstribusi yang berarti terhadap kesuksesan kelompok kooperatif.  Guru besar perananya dalam menciptakan  suasana yang kondusif.
Achievement Grouping adalah suatu sistem pengelompokan dalam mengelola kelas yang berdasarkan prestasi belajar/kemampuan dari peserta didik. Sehingga dalam suatu kelas, peserta didik dikelompokkan menjadi kelompok yang memiliki kemampuan tinggi dan juga kelompok yang memiliki kemampuan rendah. Pengelompokkan ini bersdasarkan prestasi belajar yang telah dicapai peserta didik.
Walaupun memang sistem Achievement Grouping bertujuan untuk membuat kondisi suasana belajar yang ideal dan kondusif tapi akan muncul dampak psikologi bagi peserta didik. Dan hal ini perlu diantisipasi agar tidak terjadi kondisi dimana terdapat kesenjangan social,kecemburuan social, dan ketidakrukunan diantara peserta didik.
Mengajar di kelas yang berisi anak-anak dengan tingkat dan jenis kemampuan yang berbeda memang tidak mudah bagi guru. Metode pengajaran satu arah (ceramah, misalnya) tidak akan efektif. Dan  inilah tantangan bagi guru untuk yakin bahwa peserta didiknya mampu untuk berprestasi dan juga sebagai proses pengembangan profesionalisme guru untuk meningkatkan pendekatan dan metodologi pengajaran.

Penerapan Pendekatan Eklektik dalam Mengelola Pembelajaran IPA SDN Beringin 02



BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Guru merupakan tenaga profesional yang sangat besar pengaruhnya terhadap keberhasilan pembelajaran di sekolah. Guru sangat berperan dalam membantu perkembangan peserta didik secara optimal. Guru malaksanakan dua kegiatan pokok yaitu kegiatan mengajar dan kegiatan mengelola kelas. Kedua kegiatan tersebut seharusnya dilaksanakan secara professional supaya tujuan pembelajaran dapat tercapai.
Di kelaslah segala aspek pendidikan pengajaran bertemu dan berproses. Guru dengan segala kemampuannya, siswa dengan segala latar belakang dan sifat-sifat individualnya. Kurikulum dengan segala komponennya, dan materi serta sumber pelajaran dengan segala pokok bahasanya bertemu dan berpadu dan berinteraksi di kelas. Bahkan hasil dari pendidikan dan pengajaran sangat ditentukan oleh apa yang terjadi di kelas. Oleh sebab itu sudah selayaknyalah kelas dikelola dengan bagi, professional, dan harus terus-menerus.
Mengelola kelas dalam proses pemecahan masalah bukan terletak pada banyaknya macam kepemimpinan dan kontrol, tetapi terletak pada ketrampilan memberikan fasilitas yang berbeda-beda untuk setiap peserta didik. Pemecahan masalah merupakan proses penyelesaian yang beragam, ini tergantung pada sumber permasalahan.
Guru harus memiliki, memahami dan terampil dalam menggunakan macam-macam pendekatan dalam manajemen kelas, meskipun tidak semua pendekatan yang dipahami dan dimilikinya dipergunakan bersamaan atau sekailgus. Dalam hal ini , guru dituntut untuk terampil memilih atau bahkan memadukan pendekatan yang menyakinkan untuk menangani kasus manajemen kelas yang tepat dengan masalah yang dihadapi.
Pendekatan eklektik sangat berperan dalam pengelolaan pembelajaran IPA.  Sudah kita ketahui bersama bahwa pembelajaran ipa selalu identik dengan dimensi proses, produk, dan sikap yang semuanya itu langsung berhubungan dengan dunia nyata. Dalam mengelola pembelajaran yang seperti itu dibutuhkan perpaduan aspek-aspek terbaik pendekatan-pendekatan manajemen kelas yang disesuaikan dengan situasi dan kondisi tertentu.
B.     Rumusan Masalah
1.      Apakah yang dimaksud dengan pendekatan manajemen kelas ?
2.      Apakah peran pendekatan manajemen kelas dalam menyelesaikan masalah-masalah pembelajaran ?
3.      Apakah peran pendektan eklektik dalam mengelola pembelajaran IPA ?

C.    Tujuan
Dari pemaparan diatas yang menjadi tujuan penulisan makalah ini yaitu :
1.      Untuk mengetahui pengertian,manfaat dan macam-macam pendekatan manajemen kelas.
2.      Untuk mengetahui peran pendekatan manajemen kelas dalam menyelesaikan masalah-masalah pembelajaran.
3.      Untuk mengetahui peran pendekatan eklektik dalam mengelola pembelajaran IPA.

BAB II
PEMBAHASAN
A. Pendekatan Manajemen Kelas
Guru merupakan tenaga profesional sehingga guru tidak disamakan dengan seorang tukang. Seorang tukang cukup mengikuti petunjuk yang terdapat dalam buku petunjuk. Sementara seorang guru peranannya sebagai pengelola aktivitas yang harus bekerja berdasar pada kerangka acuan pendekatan manajemen kelas.
Mengelola kelas dalam proses pemecahan masalah bukan terletak pada banyaknya macam kepemimpinan dan kontrol, tetapi terletak pada ketrampilan memberikan fasilitas yang berbeda-beda untuk setiap peserta didik. Pemecahan masalah merupakan proses penyelesaian yang beragam, ini tergantung pada sumber permasalahan.
Pengelolaan kelas bukanlah masalah yang berdiri sendiri, tetapi terkait dengan berbagai faktor. Permasalahan anak didik adalah faktor utama yang dilakukan guru tidak lain adalah untuk meningkatkan kegairahan siswa baik secara berkelompok maupun secara individual. Keharmonisan hubungan guru dan anak didik, tingginya kerjasama diantara siswa tersimpul dalam bentuk interaksi. Lahirnya interaksi yang optimal bergantung dari pendekatan yang guru lakukan dalam rangka pengelolaan kelas.(Djamarah 2006:179)
Guru harus memiliki, memahami dan terampil dalam menggunakan macam-macam pendekatan dalam manajemen kelas, meskipun tidak semua pendekatan yang dipahami dan dimilikinya dipergunakan bersamaan atau sekailgus. Dalam hal ini , guru dituntut untuk terampil memilih atau bahkan memadukan pendekatan yang menyakinkan untuk menangani kasus manajemen kelas yang tepat dengan masalah yang dihadapi. Berikut ini akan diuraikan secara singkat macam-macam pendekatan :
a.       Pendekatan Otoriter
Pengelolaan kelas diartikan sebagai suatu proses untuk mengontrol tingkah laku anak didik. Peranan guru disini adalah menciptakan dan mempertahankan situasi disiplin dalam kelas. Kedisiplinan adalah kekuatan yang menuntut kepada anak didik untuk mentaatinya. Di dalamnya ada kekuasaan dan norma yang mengikat untuk ditaati anggota kelas. Melalui kekuasaan dalam bentuk norma guru diharapkan dapat menciptakan kondisi kelas yang diinginkan.

bPendekatan Intimidasi
Dari pendekatan ancaman atau intimidasi ini, pengelolaan kelas adalah juga sebagai suatu proses untuk mengontrol tingkah laku anak didik. Tetapi dalam mengontrol tingkah laku anak didik dilakukan dengan cara memberi ancaman, misalnya melarang, ejekan, sindiran, dan memaksa.
c. Pendekatan Permisif
Pengelolaan diartikan secara suatu proses untuk membantu anak didik agar merasa bebas untuk mengerjakan sesuatu kapan saja dan dimana saja. Peranan guru adalah mengusahakan semaksimal mungkin kebebasan anak didik.
d. Pendekatan Buku Masak
Pendekatan buku masak ini dilakukan dengan memberi satu daftar yang dapat menggambarkan apa yang harus dan apa yang tidak boleh dikerjakan oleh guru dalam mereaksi semua masalah atau situasi yang terjadi di kelas. Dalam daftar itu digambarkan tahap demi tahap apa yang harus dikerjakan oleh guru. Peranan guru hanyalah mengikuti petunjuk seperti yang tertulis dalam resep.
e. Pendekatan Pengajaran
Pendekatan ini didasarkan atas suatu anggapan bahwa dalam suatu perencanaan dan pelaksanaan akan mencegah munculnya masalah tingkah laku anak didik, dan memecahkan masalah yang tidak bisa dicegah. Pendekatan ini menganjurkan tingkah laku guru dalam mengajar untuk mencegah dan menghentikan tingkah laku anak didik yang kurang baik. Peranan guru adalah merencanakan dan mengimplementasikan pelajaran yang baik.
f. Pendekatan Perubahan Tingkah Laku
Sesuai dengan namanya, pengelolaan kelas diartikan sebagai suatu proses untuk mengubah tingkah laku anak didik. Peranan guru adalah mengembangkan tingkah laku anak didik yang baik, dan mencegah tingkah laku yang kurang baik. Pendekatan berdasarkan perubahan tingkah laku (behavior modification approach) ini bertolak dari sudut pandangan psikologi behavioral.
Program atau kegiatan yang yang mengakibatkan timbulnya tingkah laku yang kurang baik, harus diusahakan menghindarinya sebagai penguatan negatif yang pada suatu saat akan hilang dari tingkah laku siswa atau guru yang menjadi anggota kelasnya. Untuk itu, menurut pendekatan tingkah laku yang baik atau positif harus dirangsang dengan memberikan pujian atau hadiah yang menimbulkan perasaan senang atau puas. Sebaliknya, tingkah laku yang kurang baik dalam melaksanakan program kelas diberi sanksi atau hukuman yang akan menimbulkan perasaan tidak puas dan pada gilirannya tingkah laku tersebut akan dihindari.
g. Pendekatan Sosio-Emosional
Pendekatan sosio-emosional akan tercapai secarta maksimal apabila hubungan antar pribadi yang baik berkembang di dalam kelas. Hubungan tersebut meliputi hubungan antara guru dan siswa serta hubungan antar siswa. Didalam hal ini guru merupakan kunci pengembangan hubungan tersebut. Oleh karena itu seharusnya guru mengembangkan iklim kelas yang baik melalui pemeliharaan hubungan antar pribadi di kelas. Untuk terrciptanya hubungan guru dengan siswa yang positif, sikap mengerti dan sikap ngayomi atau sikap melindungi.
h. Pendekatan Kerja Kelompok
 Dalam pendekatan in, peran guru adalah mendorong perkembangan dan kerja sama kelompok. Pengelolaan kelas dengan proses kelompok memerlukan kemampuan guru untuk menciptakan kondisi-kondisi yang memungkinkan kelompok menjadi kelompok yang produktif, dan selain itu guru harus pula dapat menjaga kondisi itu agar tetap baik. Untuk menjaga kondisi kelas tersebut guru harus dapat mempertahankan semangat yang tinggi, mengatasi konflik, dan mengurangi masalah-masalah pengelolaan.
  
B.Peran Pendekatan dalam Menyelesaikan Masalah Manajemen Kelas
Pengelolaan kelas adalah suatu  usaha yang dilakukan oleh penanggung jawab kegiatan pembelajaran dengan maksud agar  tercapai kondisi optimal sehingga dapat terlaksana kegiatan belajar sebagaimana yang  diharapkan. Atau pengelolaan kelas adalah suatu keterampilan untuk bertindak dari seorang  guru berdasarkan atas sifat-sifat kelas dengan tujuan menciptakan situasi pembelajaran ke  arah yang lebih baik.
Definisi pengelolaan kelas yang dikemukakan berdasarkan atas pandangan "Pluralistik'  menganggap pengelolaan kelas adalah seperangkat kegiatan untuk mengembangkan  tingkah laku siswa yang diinginkan dan mengurangi atau meniadakan tingkah laku yang  tidak diinginkan, mengembangkan hubungan interpersonal dan iklim sosioemosional yang  positif serta mengembangkan dan mempertahankan organisasi kelas yang efektif dan  produktif.
Dalam kegiatan sehari-hari seorang guru akan menghadapi kasus-kasus dalam kelasnya.  Misalnya dalam hal pengaturan siswa, yang dapat dikelompokan menjadi dua masalah, yaitu  masalah individu/perorangan dan masalah kelompok. Agar dalam melaksanakan  pengelolaan kelas secara efektif dan tepat guna, maka guru harus rnengidentifikasikan  kedua masalah tersebut, tetapi tak kalah pentingnya dari kedua masalah tersebut adalah  masalah organisasi sekolah.
Kegiatan rutin yang secara organisasional dilakukan baik di tingkat kelas maupun pada tingkat sekolah akan dapat mencegah masalah pengelolaan kelas. Pengaruh organisasi  sekolah dipandang cukup menentukan dalam pengarahan perilaku siswa. Pengaturan atau  pengorganisasian kelas hendaknya sering diadakan perubahan. Hal ini untuk mencegah  kejenuhan bagi siswa-siswa selama mengikuti kegiatan belajar, selain itu juga hendaknya disesuaikan dengan bahan pengajaran yang diberikan.
Tindakan pengelolaan kelas seorang guru akan efektif apabila ia dapat mengidentifikasi  dengan tepat hakikat masalah yang sedang dihadapi, dan dapat memilih strategi  penanggulangannya dengan tepat pula. Adapun kasus-kasus yang dijumpai guru dalam pengelolaan kelas antara lain, seperti:
·       Tingkat penguasaan materi oleh siswa di dalam kelas.
Misalnya, materi yang diberikan kepada siswa terlalu tinggi atau sulit sehingga tidak  bisa diikuti oleh siswa, maka di sini diperlukan penyesuaian agar siswa dapat  mengikuti kegiatan belajar dengan baik. Apabila tidak diadakan penyesuaian, siswa- siswa tidak akan serius dan selalu menimbulkan kegaduhan.
·      Fasilitas yang diperlukan,
Misalnya, alat, media, bahan, tempat, biaya, dan lain-lain, akan memungkinkan  siswa belajar dengan baik
·    Kondisi siswa
Misalnya, siswa yang kelihatan sudah lesu dan tidak bergairah dalam menerima  peiajaran, hal ini dapat mempengaruhi situasi kelas.
·      Teknik mengajar guru
Misalnya, dalam memberikan pengajaran kurang menggairahkan suasana kelas dan  menjemukan.
Dalam kegiatan pembelajaran guru akan menemui masalah-masalah dalam pengelolaan kelas yang semuanya dapat diselesaikan dengan menggunakan pendekatan yang tepat.  Masalah pergelolaan kelas dapat di kelompokkan menjadi dua kategori yaitu masalah individual dan masalah kelompok.
a.         Masalah Individu/Perorangan
Rudolf Dreikurs dan Pearl Cassell (Noorhadi,1985:5), mengemukakan bahwa semua tingkah laku individual merupakan upaya pencapaian tujuan pemenuhan kebutuhan untuk diterima  kelompok dan kebutuhan untuk mencapai harga diri.
Akibat tidak terpenuhinya kebutuhan, akan mengakibatkan
·    Tingkah-Iaku yang ingin mendapatkan perhatian orang lain (attention getting behavior), misalnya membadut di dalam kelas (aktif), atau dengan berbuat serba  lamban sehingga perlu mendapat pertolongan ekstra (pasif).
·    Tingkah-Iaku yang ingin merujukan kekuatan (power seeking behaviours), misalnya  selalu mendebat atau kehilangan kendali emosional, seperti marah marah, menangis  atau selalu "Iupa" pada aturan penting di kelas (pasif).
·    Tingkah-Iaku yang bertujuan menyakiti orang lain (revenge seeking behaviors), misalnya menyakiti orang lain seperti mengata-ngatai, memukul, menggigit dan sebagainya (kelompok ini nampaknya kebanyakan dalam bentuk aktif atau pasif).
·    Peragaan ketidakmampuan (displaying indequacy) yaitu dalam bentuk sama sekali menolak untuk mencoba melakukan apapun karena yakin bahwa hanya  kegagalanlah yang menjadi bagiannya.
Sudah disebutkan di atas bahwa masalah timbul karena individu tidak dapat memenuhi kebutuhannya. Masalah individu sangat beragam dan berbeda pada setiap individu. Tidak terpenuhinya kebutuhan akan mengakibatkan perubahan perilaku kea rah yang tidak baik. Tingkah laku yang tidak baik juga dapat dipengaruhi oleh dua faktor yaitu faktor dari dalam individu dan faktor lingkungan. Dalam hal ini penerapan pendekatan manajemen kelas akan dapat membantu menyelesaikan masalah – masalah tersebut di atas.
Pendekatan yang dirasa paling sesuai adalah pendekatan perubahan tingkah laku.
Inti dari pendekatan perubahan tingkah laku adalah adalah penggunaan peguatan. Siswa yang mempunyai tingkah laku yang kurang baik akan mendapatkan penguatan negatif berupa sanksi atau hukuman yang akan menimbulkan perasaan tidak puas dan pada gilirannya tingkah laku tersebut akan dihindari. Sedangkan siswa yang berperilaku baik akan mendapat penguatan positif berupa pujian dan hadiah yang akan menimbulkan perasaan senang dan puas.
b.      Masalah Kelompok
Masalah kelompok dapat diselesaikan dengan pendekatan kerja kelompok. Masalah ini merupakan yang harus diperhatikan dalam pengelolaan kelas. Masalah  kelompok akan muncul apabila tidak terpenuhinya kebutuhan-kebutuhan kelompok, kelas  frustasi atau lemas dan akhirnya siswa menjadi anggota kelompok bersifat pasif, acuh, tidak  puas dan belajarnya terganggu. Apabila kebutuhan kelompok ini terpenuhi, anggotanya akan  aktif, puas, bergairah dan belajar dengan baik. Dibutuhkan peran aktif guru untuk  dapat mempertahankan semangat yang tinggi, mengatasi konflik, dan mengurangi masalah-masalah pengelolaan.

D.       Peran Pendektan Eklektik dalam Mengelola Pembelajaran IPA

Wilford A. Weber menyatakan bahwa pendekatan dengan cara menggabungkan semua aspek terbaik dari berbagai pendekatan manajemen kelas untuk menciptakan suatu kebulatan atau keseluruhan yang bermakna, yang secara filosofis, teoritis, dan / psikologis dinilai benar, yang bagi guru merupakan sumber pemilihan. Perilaku pengelolaan tertentu yang sesuai dengan situasi disebut pendekatan eklektik.
Dalam arti, tidak ada salah satu pendekatan yang cocok untuk semua masalah dan semua kondisi. Setiap pendekatan mempunyai tujuan dan wawasan tertentu. Dengan demikan, guru dituntut untuk memahami berbagai pendekatan. Dengan dikuasainya berbagai pendekatan, maka guru mempunyai banyak peluang untuk menggunakannya bahkan dapat memadukannya. Pendekatan Elektik disebut juga dengan Pendekatan Pluralistik, yaitu Manajemen Kelas yang berusaha menggunakan berbagai macam pendekatan yang memiliki potensi untuk dapat menciptakan dan mempertahankan suatu kondisi yang memungkinkan Proses Belajar Mengajar berjalan efektif dan efisien.
Dimana guru dapat memilih dan menggabungkan secara bebas pendekatan tersebut, sesuai dengan kemampuan dan selama maksud dari penggunaannya untuk menciptakan Proses Belajar Mengajar berjalan secara efektif dan efisien.
1.      Hal yang perlu dikuasai oleh seorang guru dalam menerapkan pendekatan eklektik yaitu:
Menguasai pendekatan manajemen kelas yang potensial, seperti pendekatan pengubahan perilaku, penciptaan iklim sosio – emosional, dan proses kelompok.
2.      Dapat memilih pendekatan yang tepat dan melaksanakan prosedur yang sesuai baik dalam masalah manajemen kelas.
Pembelajaran IPA pada jenjang pendidikan dasar dan dengan menggunakan pendekatan serta model apa pun harus benar-benar efektif. Dalam buku Kegiatan Belajar Mengajar yang Efektif (Depdiknas, 2003:5-6)) pembelajaran yang efektif secara umum diartikan sebagai Kegiatan Belajar Mengajar yang memberdayakan potensi siswa (peserta didik) serta mengacu pada pencapaian kompetensi individual masing-masing peserta didik. Ada baiknya jika guru yang akan merancang pembelajaran IPA di SD memperhatikan tujuh ciri utama pembelajaran efektif yang memberdayakan potensi siswa sebagaimana diuraikan pada buku tersebut (Depdiknas, 2003:7-11). Ketujuh ciri itu adalah:
1.      Berpijak pada prinsip konstruktivisme. Pembelajaran beranjak dari paradigma guru yang memandang bahwa belajar bukanlah proses siswa menyerap pengetahuan yang sudah jadi bentukan guru, melainkan sebagai proses siswa membangun makna/pemahaman terhadap informasi dan/atau pengalaman. Proses tersebut dapat dilakukan sendiri oleh siswa atau bersama orang lain.
2.      Berpusat pada siswa. Siswa memiliki perbedaan satu sama lain. Siswa berbeda dalam minat, kemampuan, kesenangan, pengalaman, dan cara belajar. Siswa tertentu lebih mudah belajar dengan dengar-baca, siswa lain lebih mudah dengan melihat (visual), atau dengan cara kinestetika (gerak). Oleh karena itu kegiatan pembelajaran, organisasi kelas, materi pembelajaran, waktu belajar, alat belajar, dan cara penilaian perlu beragam sesuai karakteristik siswa. Pembelajaran perlu menempatkan siswa sebagai subyek belajar. Artinya pembelajaran memperhatikan bakat, minat, kemampuan, cara dan strategi belajar, motivasi belajar, dan latar belakang sosial siswa. Pembelajaran perlu mendorong siswa untuk mengembangkan potensinya secara optimal.
3.      Belajar dengan mengalamipembelajaran perlu menyediakan pengalaman nyata dalam kehidupan sehari-hari dan atau dunia kerja yang terkait dengan penerapan konsep, kaidah dan prinsip ilmu yang dipelajari. Karena itu, semua siswa diharapkan memperoleh pengalaman langsung melalui pengalaman inderawi yang memungkinkan mereka memperolah informasi dari melihat, mendengar, meraba/menjamah, mencicipi, dan mencium. Dalam hal ini, beberapa topik tidak mungkin disediakan pengalaman nyata, guru dapat menggantikannya dengan model atau situasi buatan dalam wujud simulasi. Jika ini juga tidak mungkin, sebaiknya siswa dapat memperoleh pengalaman melalui alat audio-visual(dengar-pandang). Pilihan pengalaman belajar melalui kegiatan mendengar adalah pilihan terakhir.
4.      Mengembangkan keterampilan sosial, kognitif, dan emosionalSiswa akan lebih mudah membangun pemahaman apabila dapat mengkomunikasikan gagasannya kepada siswa lain atau guru. Dengan kata lain, membangun pemahaman akan lebih mudah melalui interaksi dengan lingkungan sosialnya. Interaksi memungkinkan terjadinya perbaikan terhadap pemahaman siswa melalui diskusi, saling bertanya, dan saling menjelaskan. Interaksi dapat ditingkatkan dengan belajar kelompok. Penyampaian gagasan oleh siswa dapat mempertajam, memperdalam, memantapkan, atau menyempurnakan gagasan itu karena memperoleh tanggapan dari siswa lain atau guru. Pembelajaran perlu mendorong siswa untuk mengkomunikasikan gagasan hasil kreasi dan temuannya kepada siswa lain, guru atau pihak-pihak lain. Dengan demikian, pembelajaran memungkinkan siswa bersosialisasi dengan menghargai perbedaan (pendapat, sikap, kemampuan, prestasi) dan berlatih untuk bekerjasama. Artinya, pembelajaran perlu mendorong siswa untuk mengembangkan empatinya sehingga dapat terjalin saling pengertian dengan menyelaraskan pengetahuan dan tindakannya.
5.      Mengembangkan keingintahuan, imajinasi, dan fitrah ber-TuhanSiswa dilahirkan dengan memiliki rasa ingin tahu, imajinasi, dan fitrah ber-Tuhan. Rasa ingin tahu dan imajinasi merupakan modal dasar untuk peka, kritis, mandiri, dan kreatif. Sementara, rasa fitrah ber-Tuhan merupakan embrio atau cikal bakal untuk bertaqwa kepada Tuhan. Pembelajaran perlu mempertimbangkan rasa ingin tahu, imajinasi, dan fitrah ber-Tuhan agar setiap sesi kegiatan pembelajaran menjadi wahana untuk memberdayakan ketiga jenis potensi ini.
6.      Belajar sepanjang hayatSiswa memerlukan kemampuan belajar sepanjang hayat untuk bisa bertahan (survive) dan berhasil (sukses) dalam menghadapi setiap masalah sambil menjalani proses kehidupan sehari-hari. Karena itu, siswa memerlukan fisik dan mental yang kokoh. Pembelajaran perlu mendorong siswa untuk dapat melihat dirinya secara positif, mengenali dirinya baik kelebihan maupun kekurangannya untuk kemudian dapat mensyukuri apa yang telah dianugerahkan Tuhan YME kepadanya. Demikian pula pembelajaran perlu membekali siswa dengan keterampilan belajar, yang meliputi pengembangan rasa percaya diri, keingintahuan, kemampuan memahami orang lain, kemampuan berkomunikasi dan bekerjasama supaya mendorong dirinya untuk senantiasa belajar, baik secara formal di sekolah maupun secara informal di luar kelas.
7.      Perpaduan kemandirian dan kerjasamaSiswa perlu berkompetisi, bekerjasama, dan mengembangkan solidaritasnya. Pembelajaran perlu memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengembangkan semangat berkompetisi sehat untuk memperoleh penghargaan, bekerjasama, dan solidaritas. Pembelajaran perlu menyediakan tugas-tugas yang memungkinkan siswa bekerja secara mandiri.
Pembelajaran IPA yang dirancang berdasarkan syarat-syarat pembelajaran efektif di atas, pada pelaksanaannya akan menunjukkan tingginya kemampuan pembelajaran tersebut dalam menyajikan karakteristik atau hakikat pendidikan IPA di SD. Sebagaimana telah disinggung di muka, karakteristik tersebut meliputi dimensi (ruang lingkup) proses ilmiah, produk ilmiah dan sikap ilmiah. Sekedar untuk menegaskan ulang; dimensi proses pendidikan IPA dengan ketat menuntut guru untuk melibatkan siswa secara aktif kedalam kegiatan-kegiatan dasar yang biasa dilakukan oleh para ilmuwan. Kegiatan dasar ini sering disebut sebagai metode ilmiah (Scienctific Method) dan keterampilan proses.
Dimensi produk pendidikan IPA berhubungan dengan sejumlah fakta, data, konsep, hukum, atau teori tentang fenomena alam semesta yang harus dikuasai siswa sebagaimana tertuang dalam kurikulum dan berbagai buku ajar pendidikan IPA. Produk IPA membekali siswa dengan seperangkat pengetahuan dan wawasan IPA, baik untuk kepentingan memahami peristiwa-peristiwa alam yang ditemukannya dalam kehidupan sehari-hari, maupun sebagai dasar akademis bagi siswa dalam melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Dimensi sikap merupakan hasil internalisasi dari akumulasi pengetahuan dan pengalaman siswa dalam mengikuti proses pembelajaran IPA. Dalam penjelasan sederhana, dimensi sikap IPA adalah cara pandang dan tindakan siswa terhadap sesuatu yang dilandasi oleh wawasan dan pengalaman yang diperolehnya dalam pendidikan IPA. Dimensi sikap ini sering disebut sebagai sikap ilmiah (Scientific Attitude).
Pembelajaran IPA yang efektif juga dicirikan oleh tingginya kadar on-task (aktivitas edukatif) dan rendahnya kadar off-task (aktivitas non-edukatif) siswa dalam pembelajaran. Menurut Horsley (1990:42) salah satu upaya untuk meningkatkan kadar on-task siswa adalah dengan mengembangkan kegiatan hands-on (psikomotor) dan minds-on (kognitif-afektif) melalui sejumlah keterampilan (skill) yang dilakukan siswa dalam kelas. Menurutnya ada empat jenis keterampilan: keterampilan laboratorium (laboratory skills), keterampilan intelektual (intellectual skills), keterampilan berpikir dasar (generic thinking skills) dan keterampilan berkomunikasi (communications skills). Keempat jenis keterampilan ini tidak lain merupakan pengelompokan dari keterampilan proses IPA yang sudah kita kenal.
Dalam menyelenggarakan pembelajaran IPA dengan pendekatan dan model apa pun guru harus tetap pro aktif sebagai fasilitator; mau memonitor seberapa besar kadar on-task siswa, seberapa banyak keterampilan dan sikap ilmiah siswa yang dapat dikembangkan, dan sejauh mana konsep-konsep IPA dikuasai dan diimplementasikan siswa. Jika semua itu tercapai secara optimal maka dapat dipastikan bahwa pembelajaran IPA yang diselenggarakan guru adalah pembelajaran IPA yang efektif. Salah satu sikap pro aktif guru adalah sejak awal berusaha memahami benar rambu-rambu pembelajaran IPA dalam kurikulum.
Sudah disinggung sebelumnya bahwa pendekatan eklektik adalah pendekatan yang memadukan aspek-aspek terbaik pada setiap pendekatan manajemen kelas.Pendekatan eklektik disesuaikan dengan masalah pada kondisi tertentu. Penggunakan berbagai macam pendekatan yang memiliki potensi untuk dapat menciptakan dan mempertahankan suatu kondisi yang memungkinkan Proses Belajar Mengajar berjalan efektif dan efisien.
Seperti yang sudah dipaparkan di atas menurut buku Kegiatan Belajar Mengajar yang Efektif (Depdiknas, 2003:5-6)) pembelajaran IPA SD yang efektif adalah yang mencakup tujuh  hal seperti yang sudah disebutkan sebelumnya. Untuk dapat mengelola pembelajaran IPA yang efektif dibutuhkan peran pendekatan eklektif yang merupakan penggabungan aspek-aspek terbaik pendekatan-pendekatan yang lain.
Pada observasi yang dilakukan penulis di SD Beringin 02 ada hal yang cukup menarik yang dapat diangkat menjadi sebuah makalah. Ibu Sri guru kelas V sedang mengajar IPA BAB Perubahan Sifat Benda menggunakan pendekatan eklektik dalam mengelola kelas dan tanpa menggunakan alat peraga. Tidak menggunakan alat peraga berarti tidak sesuai dengan ciri pembelajaran IPA yang efektif menurut depdiknas point 3 (belajar sambil mengalami).
Pendekatan otoriter dapat diterapkan pada pembelajaran IPA SD. Pada pembelajaran IPA yang tanpa menggunakan alat peraga siswa akan menjadi cepat bosan dan akhirnya mereka akan menjadi ramai sendiri. Guru mengajar dengan menggunakan aspek terbaik pada pendekatan otoriter. Ada sekelompok siswa yang duduk di pojok belakang kelas yang sedang ramai gurupun menegurnya dengan halus dan merekapun dapat kembali memperhatikan pelajaran. Pembelajaranpun akan menjadi lebih efektif.
Hampir setiap kelas pasti ada siswa ataupun sekelompok siswa yang suka membandel. Di kelas V SDN Beringin 02 ada sekelompok siswa perempuan yang duduk di belakang dan suka membuat gaduh. Sikap guru yang dengan hanya menegurnya ternyata masih dirasa belum cukup. Akhirnya guru mengambil tindakan dengan memberikan ancaman kepada siswa tersebut. Guru tersebut mengatakan kepada siswa tersebut kalau masih bertidak gaduh akan dilaporkan kepada orang tuanya.Siswa tersebut akhirnya merasa takut dan kembali mengikuti pelajaran. Pendekatan intimidasi juga perlu diterapkan karena dalam pembelajaran ipa kita mengenal dimensi sikap. Jadi pada intinya setelah mempelajari IPA siswa akan memiliki sikap baik dalam menanggapi lingkungan atau yang disebut juga dengan sikap ilmiah.
Sifat dasar siswa adalah ingin bebas dan tidak suka dikekang oleh pembelajaran. Guru  menggunakan pendekatan permisif untuk dapat meningkatkan kebebasan siswa pada tingkat yang wajar. Dengan merasa bebas siswa akan dapat membangun penetahuannya sendiri berdasarkan pembelajaran yang diberikan oleh guru dengan menggunakan metode ceramah maupun kerja kelompok. Penerapan kebebasan siswa akan membuat siswa menjadi lebih aktif. Pembelajaran yang berpusat pada siswa adalah ciri pembelajaran IPA yang efektif. Pembelajaran tersebut akan dapat mencapai sasaran dengan meningkatkan kebebasan siswa.
Sebagian besar siswa dalam kelas tersebut berperilaku baik. Tetapi ada sekelompok siswa yang suka membuat kegaduahn yang menyebabkan kondisi kelas kurang kondusif. Tingkah laku yang baik yang dimiliki oleh siswa akan lebih mudah mengefektifkan pembelajaran IPA dan sebaliknya tingkah laku yang kurang baik juga akan berdampak sebaliknya. Pendekatan perubahan tingkah laku menjadi solusi yang tepat untuk dapat menyelesaikan masalah tersebut. Prinsip utama pendekatan perubahan tingkah laku adalah pemberian penguatan baik positif maupun negatif. ). Dengan pendekatan perubahan tingkah laku ketiga dimensi pembelajaran IPA seperti dimensi proses ilmiah, produk ilmiah dan sikap ilmiah akan dapat dicapai dengan baik.
Siswa akan dapat meningkatkan pemahamannya dengan cara mengkomunikasikan gagasannya kepada orang lain. Pengkomunikasian gagasan dapat dituangkan melalui kegiatan saling bertanya dan saling menjelaskan. Dengan menggunakan pendekatan sosio-emosional yang diterapkan oleh guru, diharapkan siswa dapat menyampaikan gagasannya kepada kepada orang lain. Dengan adanya tanggapan dari siswa lain ataupun guru berarti telah terjadi proses sosialisasi yang merupakan ciri pembelajaran IPA.
Penerapan pendekatan kerja kelompok selalu berhubungan dengan pendekatan sosio-emosional. Kondisi sosial antar siswa maupun guru dengan siswa yang baik akan mempermudah penerapan pendekatan kerja kelompok secara maksimal.Dibutuhkan peran guru dalam menciptakan kondisi yang memungkinkan sehingga tujuan utama kerja kelompok dapat dicapai. Pembelajaran IPA menuntut siswa untuk dapat berkompetisi, bekerjasama, dan mengembangkan solidaritasnya. Dengan pendekatan kerja kelompok tujuan tersebut akan lebih mudah dicapai.
Penerapan pendekatan-pendekatan tersebut di atas tidak dapat direncanakan sebelumnya dalam rencana pembelajaran. Pendekatan-pendekatan tersebut hanya dapat diterapkan pada situasi dan kondisi tertentu. Dibututuhkan kemampuan guru untuk dapat menggunakan berbagai pendekatan dan menerapkan pembelajaran IPA yang efektif.

BAB III
PENUTUP

A.    Simpulan
Guru malaksanakan dua kegiatan pokok yaitu kegiatan mengajar dan kegiatan mengelola kelas. Dalam menjalankan kedua kegiatan tersebut guru akan menemui berbagai macam masalah. Untuk dapat melakukan tugasnya dengan baik sebagai pengelola aktivitas guru harus bekerja berdasar pada kerangka acuan pendekatan manajemen kelas. Kemampuan guru dalam memadukan berbagai pendekatan akan sangat mempengaruhi hasil pembelajaran.
Pendekatan eklektik adalah pendekatan yang memadukan aspek-aspek terbaik setiap pendekatan manajemen kelas. Mengelola pembelajaran IPA bukanlah hal yang mudah karena pembelajaran ini adalah perpaduan antara kemampuan proses, produk, dan sikap yang tidak terdapat pada pembelajaran lain. Pendekatan eklektik perlu diterapkan dalam pembelajaran IPA. Pembelajaran IPA yang efektif menurut Depdiknas ada tujuh point yang mana dalam pencapainnya dibutuhkan pendekatan eklektik.
B.     Saran
Penerapan pendekatan eklektik dalam pembelajaran IPA maupun pelajaran yang lain sudah sangat tepat. Sudah disebutkan sebelumnya bahwa guru pasti akan menemui banyak masalah dalam proses belajar mengajar. Guru harus mampu menggunakan suatu pendekatan pada situasi yang tepat. Dalam mengelola pembelajaran IPA yang efektif dibutuhkan peran aktif guru supaya tujuan yang diharapkan dapat tercapai.


DAFTAR PUSTAKA

Ekosiswoyo, Rasdi dan Rachman, Maman.2002.Manajemen Kelas.Semarang : IKIP Semarang Press
Depdiknas.2003.Kegiatan Belajar Mengajar yang Efektif.Jakarta:Dirjen Depdiknas
Purwanto Hadi.Geliat Pembelajaran IPA Efektif di SD.ApaKabarPSBG.htm diakses 20 Desember 2011
Krishannanto Deddy.  Pembelajaran IPA yang Efektif.  Pinggiralas.htm diakses 20 Desember 2011
Tauda. Pendekatan dalam Pengelolaan Kelas . Guruku.htm diakses 19 Desember 2011
Joko.PENDEKATAN DALAM MANAJEMEN KELAS .Merah Putih Pendidikan.htm diakses 19 Desember 2011

ABSTRAK
Guru merupakan tenaga profesional yang sangat besar pengaruhnya terhadap keberhasilan pembelajaran di sekolah. Guru sangat berperan dalam membantu perkembangan peserta didik secara optimal. Guru malaksanakan dua kegiatan pokok yaitu kegiatan mengajar dan kegiatan mengelola kelas. Kedua kegiatan tersebut seharusnya dilaksanakan secara professional supaya tujuan pembelajaran dapat tercapai. Dalam kegiatan sehari-hari seorang guru akan menghadapi kasus-kasus dalam kelasnya.  Misalnya dalam hal pengaturan siswa, yang dapat dikelompokan menjadi dua masalah, yaitu  masalah individu/perorangan dan masalah kelompok. Agar dalam melaksanakan  pengelolaan kelas secara efektif dan tepat guna, maka guru harus rnengidentifikasikan  kedua masalah tersebut, tetapi tak kalah pentingnya dari kedua masalah tersebut adalah  masalah organisasi sekolah.
Dibutuhkan pendekatan –pendekatan yang tepat untuk menyelesaikan masalah- masalah manajemen kelas. Tidak semua pendekatan yang cocok untuk semua masalah dan semua kondisi. Setiap pendekatan mempunyai tujuan dan wawasan tertentu. Dengan demikan, guru dituntut untuk memahami berbagai pendekatan. Dengan dikuasainya berbagai pendekatan, maka guru mempunyai banyak peluang untuk menggunakannya bahkan dapat memadukannya. Pendekatan Elektik disebut juga dengan Pendekatan Pluralistik, yaitu Manajemen Kelas yang berusaha menggunakan berbagai macam pendekatan yang memiliki potensi untuk dapat menciptakan dan mempertahankan suatu kondisi yang memungkinkan Proses Belajar Mengajar berjalan efektif dan efisien.
Pembelajaran IPA pada jenjang pendidikan dasar dan dengan menggunakan pendekatan serta model apa pun harus benar-benar efektif. Dalam buku Kegiatan Belajar Mengajar yang Efektif (Depdiknas, 2003:5-6)) pembelajaran yang efektif secara umum diartikan sebagai Kegiatan Belajar Mengajar yang memberdayakan potensi siswa (peserta didik) serta mengacu pada pencapaian kompetensi individual masing-masing peserta didik. Ada baiknya jika guru yang akan merancang pembelajaran IPA di SD memperhatikan tujuh ciri utama pembelajaran efektif yang memberdayakan potensi siswa sebagaimana diuraikan pada buku tersebut (Depdiknas, 2003:7-11).
Penerapan pendekatan-pendekatan tersebut di atas tidak dapat direncanakan sebelumnya dalam rencana pembelajaran. Pendekatan-pendekatan tersebut hanya dapat diterapkan pada situasi dan kondisi tertentu. Dibututuhkan kemampuan guru untuk dapat menggunakan berbagai pendekatan dan menerapkan pembelajaran IPA yang efektif.